Wednesday, January 12, 2011

ISTIQAMAH DALAM KEIMANAN


 
"Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, "Tuhan kami adalah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian (istiqamah) maka para malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan), "Janganlah kamu merasa takut, dan janganlah kamu merasa sedih, dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu. Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) apa yang kamu minta." (QS. Fushilat : 30-31)  


KEIMANAN yang kuat suatu saat bukanlah awal dan akhir sekaligus. Mengapa? Karena hidup manusia terus berlangsung melalui berbagai dinamikanya. Cobaan, godaan, kesenangan, penderitaan, kesulitan, dan berbagai nuansa kehidupan terus silih berganti menimpa manusia. Oleh karena itu, ada kalanya orang mengawali hari dengan iman, tetapi iman itu luntur di kala siang. Di pagi hari hatinya mantap dengan syariat Allah, namun di waktu asar hatinya telah menyeleweng jauh dari syariat Islam tersebut. Karenanya, ada tantangan setelah iman telah menancap (terpancang), yaitu sikap istiqamah. Ia adalah "Luzum ath-tha'ah (konsistensinya ketaatan)," kata Umar bin Khattab.

Suatu ketika Muadz bin Jabal menghadap Rasulullah صلیﷲ علیﻪ و سلم dan berkata,

    "Wahai Rasulullah, katakan kepadaku tentang Islam yang saya tidak mendapatkannya dari yang lain." Beliau menjawab, قُلْ آمَنْتُ بِاللَّهِ ثُمَّ اسْتَقِمْ
    "Katakan, aku beriman kepada Allah, lalu istiqamahlah."
      
Dengan kata lain, yang dituntut bukan hanya sekali menyatakan persaksian iman, akan tetapi harus diikuti dengan sikap konsisten dalam keimanan untuk selama-lamanya. Konsistensi dalam iman, atau sering disebut sebagai sikap istiqamah, merupakan keharusan untuk menunjukkan bahwa keimanan kita telah masuk ke jiwa secara sempurna, bukan hanya ungkapan lisan semata. Allah menolak masyarakat badui (badwi) yang menyatakan telah beriman, sedangkan mereka belum konsisten dalam menegakkan konsekuensi keimanan tersebut.



    Orang-orang Arab badui itu berkata, "Kami telah beriman." Katakanlah (kepada mereka), "kamu belum beriman, tetapi katakanlah kami telah tunduk," karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu" (QS. Al-Hujurat:14)
      
Ayat di atas menunjukkan celaan dan teguran Allah terhadap orang-orang badui yang terlalu mudah mengucapkan kata-kata iman. Pada kenyataannya, Allah tidak akan membiarkan setiap manusia mengatakan dirinya telah beriman, tetapi akan ada ujian yang diberikan kepada setiap pernyataan iman itu.

Allah سبحانا وتعاﱃ berfirman,
     Alif Lam Mim, apakah manusia mengira bahwa mereka dibiarkan saja mengatakan, "Kami telah beriman," sedangkan mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar (keimanannya) dan Dia mengetahui orang-orang yang dusta. (QS. Al-Ankabut : 1-3)  
Sikap istiqamah dalam keimanan telah ditampakkan oleh Rasulullah صلیﷲ علیﻪ و سلم dan para sahabat beliau tatkala mereka menjalani kehidupan yang penuh tantangan sejak dari di Makkah hingga Madinah. Pembelaan yang prima terhadap nilai keimanan telah mereka tunjukkan dalam ketegaran sikap menghadapi berbagai cobaan, tanpa ada keraguan sedikit pun. Tidak goyah oleh rayuan, tidak mundur oleh tekanan, tidak gamang (perasaan takut, jatuh) oleh cercaan, tidak luntur oleh godaan. Inilah konsistensi iman yang telah diukir dalam sejarah perjuangan generasi keemasan Islam.
     
    Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar. (QS. Al-Hujurat : 15)  
Allah سبحانا وتعاﱃ memberikan penghargaan yang amat tinggi kepada orang-orang beriman yang istiqamah mempertahankan keimanannya. Hal ini karena dalam kenyataan keseharian, tidak mudah untuk bersikap istiqamah. Lebih banyak orang terjebak dalam penyimpangan atau inkonsistensi keimanan, dibandingkan mereka yang menunjukkan kesungguhan menjaga iman.

Kondisi kehidupan kita saat ini, berbagai bentuk penyimpangan telah melanda masyarakat di semua bidang. Dalam bidang sosial, ekonomi, politik, pemerintahan, hukum, seni dan budaya, tampaklah kenyataan yang tidak menujukkan konsekuensi dari keimanan. Di masjid masyarakat berkumpul untuk menampakkan sisi keimanan kepada Allah, akan tetapi begitu kembali ke kantor, ke pasar, ke masyarakat, seakan-akan keimanan telah tanggal dan tiada bekas yang tampak pada kegiatan hidup mereka.

Sedemikian beratnya untuk bersikap istiqamah demi mempertahankan iman, hingga Allah pun memberikan janji kepada siapa pun yang beriman dan konsistensi dalam keimanan. Firman Allah:
     
    "Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, "Tuhan kami adalah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian (istiqamah) maka para malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan), "Janganlah kamu merasa takut, dan janganlah kamu merasa sedih, dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu. Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) apa yang kamu minta." (QS. Fushilat : 30-31)  
Ayat di atas telah menujukkan perhatian, kasih sayang, dan penghargaan Allah kepada orang-orang beriman yang meneguhkan pendirian, sekaligus janji yang pasti dipenuhi. Paling tidak ada tiga hasil (natijah) sikap istiqamah dalam keimanan yang ditunjukkan Allah dalam ayat di atas.


KEBERANIAN (ASY-SYAJA'AH)


Orang-orang yang beriman dan istiqamah dalam iman, akan muncul sikap berani menghadapi berbagai tantangan kehidupan. Terhapuslah sifat kepengecutan dalam setiap orang yang konsisten mempertahankan iman, karena Allah menurunkan malaikat yang menjaga dan membisikkan "janganlah kamu merasa takut. " Mereka tidak takut hidup dengan segala resiko kehidupan, sebagaimana mereka tidak takut kematian.

Pada salah satu episode dari Perang Uhud, Imam Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah صلیﷲ علیﻪ و سلم bersabda, :
    "Bangkitlah kalian menuju surga yang luasnya seluas langit dan bumi!"Ibnu Hamman Al-Anshari bertanya, "Wahai Rasulullah, seluas langit dan bumi?"

    "Benar!" jawab Rasulullah.

    Umair Ibnu Hamman berkata, "Sungguh beruntung, sungguh beruntung!"
    "Apakah yang mendorongmu berkata demikian?" tanya Rasulullah.

    "Aku berharap semoga aku dapat memasukinya,"
    "Engkau termasuk orang yang memasukinya," kata Rasulullah.

    Selanjutnya, ia mengeluarkan beberapa biji kurma dari skunya untuk dimakan. Setelah itu, ia berkata, "Untuk menunggu sampai habisnya kurma ini, sungguh hidup yang amat panjang."

    Serta merta ia pun melemparkan buah kurma itu, lalu berangkat ke medan pertempuran hingga terbunuh.
      
Dalam kisah yang lain, Abu Bakar bin Abu Musa Al-Asy'ari berkata,
    "Sewaktu kami sedang berhadapan dengan musuh, aku dengar ayahku berkata bahwa Rasulullah telah bersabda, "Sesungguhnya pintu surga itu ada di bawah naungan pedang."
    Waktu itu seorang pemuda yang tampak tidak tertarik, bergegas bangkit dan bertanya, "Hai Abu Musa Al-Asy'ari, apakah engkau benar-benar mendengar Rasulullah bersabda demikian?"

    "Ya, benar!" jawab Abu Musa. Kemudian pemuda itu balik menuju kawan-kawannya dan berkata, "Aku kemari hanya untuk mengucapkan selamat tinggal saja kepada kalian."

    Setelah itu, ia patahkan sarung pedangnya dan segera maju ke barisan musuh dengan pedang, kemudian ia dijumpai telah wafat sebagai syahid."
      
Tampaklah jiwa perwira, hingga dengan gagah perkasa menjumpai kematian yang mulia sebagai syuhada'.


KETENANGAN (ATH-THUMA'NINAH)


Orang-orang yang konsisten dalam keimanan akan memperoleh rasa tenang dan gembira dalam hidup, baik di dunia maupun di akhirat. Mereka tidak diliputi oleh perasaan sedih, cemas, gelisah, dan ketidakpastian, sebab malaikat menjaga mereka dengan membisikkan, "jangalah kamu merasa sedih." Hilanglah kesusahan dan muncullah kegembiraan menghadapi realitas kehidupan.

Betapa banyak masyarakat yang dilanda kecemasan dan ketidaktenangan dalam menghadapi kehidupan. Penyebabnya adalah tekanan ekonomi, harga-harga bahan pokok yang semakin tinggi, hingga berdampak kepada perasaan cemas dan khawatir secara berlebihan. Bahkan mereka yang telah memiliki kekayaan melimpah, ternyata justru semakin banyak kecemasan mereka simpan. Takut hartanya hilang atau berkurang, khawatir rumahnya dirampok orang, atau cermat menghadapi persaingan kemewahan.

Hanya orang beriman dan istiqamah dalam imanlah yang akan mampu menjalani hidup dengan penuh ketenangan diri. Karena orientasi ukhrawi inilah, yang tidak menjadikan materi sebagai tujuan kehidupan, sehingga mereka bisa menikmati hidup secara lebih bijaksana. Sebagian masyarakat menganggap masa sekarang sebagai zaman edan (Eng: wild, frantic, insane, mad, crazy), yang mengharuskan semua orang mengikuti selera kegilaan zaman agar bisa bertahan dan sukses dalam hidup. Sesungguhnya, prinsip seperti itu hanyalah menunjukkan kegelisahan diri menghadapi persoalan kehidupan.

Mereka tidak memiliki pegangan yang pasti, sehingga cenderung labil (cenderung untuk berubah) jika dihadapkan realitas tantangan. Umat beriman memiliki pegangan yang amat kukuh, yakni keyakinan kepada Allah yang akan memberikan balasan berupa kebahagiaan tiada batas di akhirat kelak, sebagaimana ungkapan malaikat
    "Dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu."   


OPTIMISME (AT-TAFA'UL)


Orang-orang yang istiqamah dalam keimanan akan memiliki pandangan hidup yang optimis, terjauhkan dari kecil hati dan pesimisme. Allah telah menjanjikan sebuah penghargaan besar,
    "Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) apa yang kamu minta." 
Banyak orang yang bekerja dalam kehidupan dunia untuk tujuan-tujuan praktis keduniaan, sehingga mereka memiliki optimisme hidup, padahal itu sama sekali tidak ada jaminan tentang kehidupan akhirat. Sementara orang-orang yang istiqamah dalam iman, telah dijanjikan kehidupan yang penuh perlindungan, baik di dunia maupun akhirat. Tentu optimisme menghadapi kehidupan harus tumbuh secara optimal, dibandingkan dengan orang-orang yang berpaham serba materi.

    Allah memberikan sebuah visi makro dalam membangkitkan semangat manusia beriman, bahwa mereka telah menggenggam jaminan yang akan membuat kehidupan menjadi sedemikian membahagiakan.

Adakah bank, asuransi, yang berani memberikan garansi kebahagiaan di dunia hingga akhirat? Hanya Allah yang bisa memberikan jaminan kebaikan hidup, baik di dunia maupun akhirat.

Di sinilah orang-orang yang istiqamah dalam iman mendapatkan optimisme, karena jaminan kebaikan hidup datangnya langsung dari Allah سبحانا وتعاﱃ . Optimisme yang terbangun bersifat hakiki, bukan sesuatu yang semu (ilusi) dan menipu. Bukan candu atau opium yang memabukkan atau meninabobokan (menjadikan kurang cergas atau aktif, menidurkan), sebab setiap keteguhan pasti akan berujung kepastian. Pada ideologi materialisme, yang terbangun adalah harapan-harapan yang bersifat nisbi (relatif), serba tidak pasti, sebagaimana nilai materi itu sendiri.
Akhirnya, kebahagiaan benar-benar akan didapatkan oleh orang-orang yang beriman dan istiqamah dalam keimanan. Mereka mendapatkan jaminan kebaikan hidup di dunia maupun di akhirat sebagai balasan dari konsistensinya dalam mempertahankan keimanan.




Adakah kebahagiaan yang lebih dari kondisi tersebut?


[sumber: Buku Seri Materi Tarbiyah; Syahadat dan Makrifatullah] 

:::: 11 Jamadil Akhir 1431 ::::
[ semua gambar adalah hiasan ]
_________________________

Dipetik Dan Disunting Dari:
    Tajuk Asal : Syahadah & Iman

Untuk membaca karangan asal Bahagian 1 dan 2, sila lihat link dibawah:

Shared By Bicara Hidayah