Thursday, January 27, 2011

TAKWA! SEMUDAH ITUKAH?

KATA
“TAKWA” sangat sering kita dengar dalam ceramah-ceramah agama, sebagaimana kalimat ini mudah dan ringan diucapkan di lisan kita. Akan tetapi, sudahkah hakikat kalimat ini terwujud dalam diri kita secara nyata? Sudahkah misalnya ciri-ciri orang yang berTAKWA yang disebutkan dalam ayat berikut ini terealisasi dalam diri kita?
    “(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya) baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah. Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengatahui.” (Ali ‘Imran: 134-135)
Maka mempraktikkan kalimat ini tidak semudah mengucapkannya, khususnya kalau kita mengetahui bahwa TAKWA yang sebenarnya adalah amalan HATI dan bukan sekedar apa yang tampak pada anggota badan.

UBAT PENENANG JIWA

SAUDARAKU, sudah menjadi tabiat manusia bahwa mereka menyukai sesuatu yang bisa menyenangkan HATI dan mententramkan JIWA mereka. Oleh sebab itu, banyak orang rela mengorbankan waktunya, memeras otaknya, dan menguras tenaganya, atau bahkan kalau perlu mengeluarkan biaya yang tidak kecil jumlahnya demi meraih apa yang disebut sebagai kepuasan dan ketenangan JIWA.

Namun, ada sebuah fenomena memprihatinkan yang sulit sekali dilepaskan dari upaya ini. Seringkali kita jumpai manusia memakai cara-cara yang dibenci oleh Allah demi mencapai keinginan mereka.

Ada di antara mereka yang terjebak dalam jerat harta. Ada yang terjebak dalam jerat wanita. Ada yang terjebak dalam hiburan yang tidak halal. Ada pula yang terjebak dalam aksi-aksi brutal atau tindak kriminal.

Apabila permasalahan ini kita cermati, ada satu faktor yang bisa ditengarai (diketengahkan) sebagai sumber utama munculnya itu semua. Hal itu tidak lain adalah karena manusia tidak lagi menemukan ketenangan dan kepuasan JIWA dengan berdzikir dan mengingat Rabb mereka.

Wednesday, January 26, 2011

TANDA-TANDA KELEMAHAN JIWA


PERNAHKAH kita boros berbelanja hingga kita berbelanja hebat sedangkan sebahagian besar yang kita beli adalah perkara-perkara yang sebenarnya kita tak perlukan? Atau mungkin kita dikuasai amarah hingga kita melupakan persahabatan dan persaudaraan lalu segalanya kita korbankan agar hati kita merasa puas? Pernahkan kita sibuk dalam perkara-perkara yang kurang utama hingga berjam-jam masa kita terbuang begitu sahaja? Pernahkan kita dilanda kekecewaan hingga jiwa kita murung dan hilang keazaman lalu kita biarkan masa berlalu meninggalkan kita bersama kesedihan dan luka-luka pada jiwa? Atau pernahkah kita terlalu gembira hingga kita lupakan batasan-batasan yang akan mengekalkan kewibawaan kita?

Tentunya kita berhak untuk berbelanja setelah bertungkus lumus mengumpul kekayaan. Tentunya kita berhak untuk marah dan kecewa apatah lagi gembira sepuas-puasnya. Tetapi ingat, apabila Allah tiada lagi dijiwa kita dan nilai iman tidak lagi menjadi neraca utama dalam diri kita maka kita sebenarnya sudah menjadi tunggangan nafsu.

YANG PALING BANYAK BERISTIGHFAR DAN BERTAUBAT


RASUL
dan suri tauladan kita, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling banyak beristighfar dan bertaubat padahal beliau adalah orang yang telah diampuni dosa yang telah lalu dan akan datang. Sebagaimana hal ini terdapat pada firman Allah,
    إِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحًا مُبِينًا (1) لِيَغْفِرَ لَكَ اللَّهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ وَيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكَ وَيَهْدِيَكَ صِرَاطًا مُسْتَقِيمًا  
    “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata, supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang serta menyempurnakan ni’mat-Nya atasmu dan memimpin kamu kepada jalan yang lurus.” (Qs. Al Fath: 1-2)


Dalam kitab shohih, dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,
    كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا صَلَّى قَامَ حَتَّى تَفَطَّرَ رِجْلاَهُ قَالَتْ عَائِشَةُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَتَصْنَعُ هَذَا وَقَدْ غُفِرَ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ فَقَالَ . يَا عَائِشَةُ أَفَلاَ أَكُونُ عَبْدًا شَكُورًا 
    “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terbiasa shalat sehingga kakinya pecah-pecah. Kemudian aku mengatakan kepada beliau, ‘Wahai rasulullah, kenapa engkau melakukan hal ini padahal engkau telah diampuni dosa yang telah lalu dan akan datang.’ Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, ‘Tidakkah engkau menyukai aku menjadi hamba yang bersyukur.’” (HR. Muslim no. 7304)

LAKSANA SETETES (SETITIS) AIR DI TENGAH SAMUDERA

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

Kelazatan mengikuti rasa cinta. Ia akan menguat mengikuti menguatnya cinta dan melemah pula seiring dengan melemahnya cinta. Setiap kali keinginan terhadap al-mahbub (sosok yang dicintai) serta kerinduan kepadanya menguat maka semakin sempurna pula kelazatan yang akan dirasakan tatkala sampai kepada tujuannya tersebut. Sementara rasa cinta dan kerinduan itu sangat tergantung kepada ma’rifah/pengenalan dan ilmu tentang sosok yang dicintai. Setiap kali ilmu yang dimiliki tentangnya bertambah sempurna maka niscaya kecintaan kepadanya pun semakin sempurna.

Apabila kenikmatan yang sempurna di akhirat serta kelazatan yang sempurna berporos (BM: asas) kepada ilmu dan kecintaan, maka itu artinya barangsiapa yang lebih dalam pengenalannya dalam beriman kepada Allah, nama-nama, sifat-sifat-Nya serta -betul-betul meyakini- agama-Nya niscaya kelazatan yang akan dia rasakan tatkala berjumpa, bercengkerama, memandang wajah-Nya dan mendengar ucapan-ucapan-Nya juga semakin sempurna.

Adapun segala kelazatan, kenikmatan, kegembiraan, dan kesenangan -duniawi yang dirasakan oleh manusia - apabila dibandingkan dengan itu semua laksana setetes air di tengah-tengah samudera.

Tuesday, January 25, 2011

YA, HANYA SEHARI SAHAJA ...


BILA KITA INGIN BERMULA?