Saturday, January 8, 2011

KEKUATAN ITU ADA PADA AL-QUR’AN

“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.”
(Al-Isra’: 85)

TERDAPAT
lebih dari 19 ayat yang menyebut kata “ruh” dalam Al-Qur’an. Maksud yang terkandung dari istilah ini tidak keluar dari arti malaikat Jibril yang biasanya ditambah dengan istilah Ruhul Quds atau Ar-Ruhul Amin dan maksud yang kedua adalah Al-Qur’an. Dan hanya satu ayat yang bermaksud roh dalam arti yang sebenarnya, yaitu pada ayat ini, seperti d atas. Meskipun demikian terdapat juga ulama tafsir seperti yang dinukil oleh Imam Al-Qurthubi yang memahami ruh dalam arti analogis yaitu Al-Qur’an. Maka pengertian ayat ini menurut Al-Qurtubi secara analogis adalah:
    “Dan mereka bertanya, “Darimanakah Al-Qur’an yang di tanganmu ini?”. “Katakanlah: Sesungguhnya ia diturunkan sebagai mukjizat atas perintah Allah swt.”


RUH MEMILIKI PENGERTIAN AL-QUR'AN

Analogi kedua makna ini sangat jelas. Roh merupakan alat kehidupan manusia secara fisik materil. Manakala Al-Qur’an adalah roh yang bisa memberi kekuatan dan kehidupan manusia secara psikologis ruhiyah. Hal ini bertepatan dengan ungkapan Malik bin Dinar tentang roh Al-Qur’an:
    “Wahai Ahlul Qur’an! apa yang telah ditanam oleh Al-Qur’an ke dalam lubuk hatimu? Sesungguhnya Al-Qur’an adalah penyubur hati sebagaimana hujan yang menyuburkan bumi.”

Dalam konteks ruh yang memiliki pengertian Al-Qur’an, terdapat empat ayat membahasnya, yaitu surah An-Nahl: 2, Ghafir: 15, Asy-Syura: 52 dan Surah Al-Isra’: 58 yang dipahami secara analogis. Tentunya, penamaan Al-Qur’an dengan ruh bukan kebetulan dan tanpa hikmah yang perlu digali oleh hamba-Nya yang merindukan keberkahan dan kekuatan dari Al-Qur’an, seperti juga nama dan sifat lain yang dimiliki oleh Al-Qur’an yang mencerminkan fungsi dan perannya yang komprehensif dan universal. Betapa hanya Al-Qur’an yang bisa diandalkan menyelesaikan masalah kemanusiaan dalam segala bentuknya.

Sayyid Qutb menyatakan pandangannya tentang penamaan Al-Qur’an dengan ruh berdasarkan firman Allah:

    “(Dialah) Yang Maha Tinggi derajat-Nya, Yang mempunyai ‘Arsy, Yang memberi ruh dengan (membawa) perintahNya kepada siapa yang dikehendakiNya di antara hamba-hambaNya, supaya dia memperingatkan (manusia) tentang hari pertemuan (hari kiamat).” (Ghafir: 15)
... bahwa ini merupakan kinayah tentang wahyu. Redaksi yang digunakan dalam ayat ini mengisyaratkan dua hal:
  • Pertama, bahwa wahyu (Al-Qur’an) adalah ruh dan kehidupan bagi manusia, tanpa ruh ini manusia tidak akan bisa hidup dengan baik dan benar,
  • Kedua, bahwa wahyu itu turun dari tempat yang tinggi kepada siapa yang dipilih dari hamba-hamba-Nya. Redaksi ini bertepatan dengan sifat Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung.
Selanjutnya beliau juga menafsirkan ruh dalam ayat-ayat ini sebagai sebuah kekuatan yang menggerakkan, mempertahankan kehidupan di dalam hati, bahkan di dalam kehidupan nyata sehari-hari.

     Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu ruh (Al-Quran) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al-Kitab (Al-Qur’an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al-Qur’an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar- benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (Asy-Syura: 52)


KEKUATAN DARI SENTUHAN AL QUR'AN

Kekuatan besar dari sentuhan Al-Qur’an ini dirasakan benar oleh para sahabat Rasulullah karena memang mereka menerima Al-Qur’an ini dengan segenap hati, pikiran dan kemauan mereka. Seperti yang diriwayatkan oleh Ath-Thobroni dan Al-Baihaqi dari Abdullah bin Amr bin Ash bahwa ia berkata:

“Ketika turun surah Az-Zalzalah, maka serentak Abu Bakar yang sedang duduk waktu itu menangis. Maka Rasulullah وسلم علي ﷲ صلى   pun menghampirinya dan bertanya, “Apa yang membuat engkau menangis wahai Abu Bakar?”. Surah inilah yang membuat aku menangis”. Maka Rasulullah menenangkan dengan sabdanya:
    “Jika kalian tidak pernah melakukan dosa dan kesalahan, maka Allah akan menciptakan kaum lain yang mereka itu melakukan salah dan dosa kemudian mereka bertaubat dan Allah mengampuni mereka.”


Dalam riwayat lain dari Abdullah bin Hanthob bahwa Rasulullah وسلم علي ﷲ صلى   pernah membacakan surah ini dalam satu majlis di mana seorang Arab Badui ikut serta duduk bersama. Setelah mendengar ini, lelaki itu lantas keluar sambil menyesali dirinya “alangkah buruknya aku”. Maka Rasulullah mengatakan kepada para sahabatnya, “sungguh iman telah masuk ke dalam hati lelaki badui tadi.

Maka sangat tepat ungkapan Dr. Yusuf Al-Qaradlawi yang menegaskan bahwa:
    “Al-Qur’an adalah “ruh Rabbani” kekuatan Rabbani yang akan mampu menghidupkan dan menggerakkan akal fikiran dan hati. Sebagaimana Al-Qur’an juga undang-undang Allah yang mengatur kehidupan manusia sebagai individu dan bangsa secara kolektif.”


Syekh Muhammad Al-Ghazali menyebutkan:
    “Al-Qur’an inilah kitab yang membentuk jiwa, membangun umat dan kebudayaan mereka. Inilah sesungguhnya kekuatan Al-Qur’an. Namun yang sangat disayangkan bahwa cahaya ini tidak nampak di depan umat Islam karena mata-mata mereka sudah tertutup sehingga aib dalam konteks sekarang ini bukan aib Al-Qur’an, tetapi aib pandangan manusia yang lebih mengagungkan kekuatan lain selain Al-Qur’an. Padahal Allah sudah berfirman, “Hai Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul Kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi Al Kitab yang kamu sembunyikan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan Kitab yang menerangkan, dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keredhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (Al-Ma’idah: 15-16)

Karenanya esensi seluruh perintah dan petunjuk Al-Qur’an adalah dalam rangka memelihara kehidupan manusia, baik secara fisik maupun psikis. Tanpa panduan dan pedoman ini, kehidupan manusia semakin tidak menentu dan jelas arahnya.
    “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.” (Al-Anfal: 24)


AL QUR'AN UNTUK ORANG YANG HIDUP HATINYA

Kekuatan lain yang seharusnya kita sadari dari Al-Qur’an yang mulia ini bahwa Al-Qur’an merupakan sistem hidup yang mengarahkan orang-orang yang beriman untuk mewujudkan kehidupan dalam bingkai keimanan. Sebuah hakikat kehidupan yang meliputi segenap komponen yang ada pada diri manusia; menghidupkan fisik, perasaan, getaran jiwa, kemauan, pikiran dan kehendaknya.
    “Supaya dia (Muhammad) memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup (hatinya) dan supaya pastilah (ketetapan azab) terhadap orang-orang kafir.” (Yaasin: 70) 
     
Ibnu Qutaibah dalam kitab “Tafsir Gharibil Qur’an” memahami kalimat “Hayyan” di dalam ayat ini dengan pengertian seorang mukmin yang hidup karena memperoleh petunjuk Allah سبحانا وتعاﱃ. demikian juga dengan firman Allah سبحانا وتعاﱃ:
    “Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan.” (Al-An’am: 122).

Yang dimaksud dengan orang yang hidup dalam ayat ini adalah orang yang beriman dan orang yang mati adalah orang kafir. Makanya Allah membedakan keduanya dengan menggunakan istilah ini juga di dalam firman-Nya:
    “Dan tidak (pula) sama orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati.” (Fathir: 22)

Sesungguhnya, berbagai ujian yang mengejutkan bangsa ini semakin membuktikan hakikat yang tidak terbantahkan akan kelemahan manusia dan hajat mereka akan pertolongan Allah swt. bahwa sesungguhnya sumber kekuatan satu-satunya adalah Allah yang menciptakan segalanya dan kita akan meraih kekuatan itu dengan menjadikan Al-Qur’an sebagai satu-satunya sumber kehidupan dan kekuatan kita.

Sekali lagi, Allah سبحانا وتعاﱃ. mengingatkan kita akan kekuatan Al-Qur’an.
    “Dia menurunkan para malaikat dengan (membawa) ruh (Al-Qur’an) dengan perintah-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya, yaitu: “Peringatkanlah olehmu sekalian, bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka hendaklah kamu bertakwa kepada-Ku.” (An-Nahl: 2)

Memang sudah saatnya bagi kita untuk menerima Al-Qur’an dengan segenap perasaan, pikiran dan kehendak kita dan tidak mengharap atau menggantungkan kekuatan lain di luar dari kekuatan firman-Nya.
    “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Al-Hadid: 16)

Selama kita masih mengharap datangnya kekuatan lain, maka selama itu pula kita tidak akan meraih kehidupan yang mulia di bawah bimbingan dan naungan Al-Qur’an


:::: 3 Safar 1432 ::::
[Semua Gambar Adalah Hiasan]



___________________________________
Dipetik Dari:
http://www.dakwatuna.com/2008/kekuatan-itu-ada-pada-al-quran/

Shared By Bicara Hidayah

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bersalawat (memuji dan berdoa) ke atas Nabi. Wahai orang-orang yang beriman bersalawatlah kamu ke atasnya serta ucapkanlah salam dengan penghormatan. “[Al-Ahzab: 56]

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ، اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ

[Al-Bukhariy/ 4519], [Ibnu Majah/ 904, sahih]

PELAJARAN DARI KETEGARAN SEORANG WANITA

Sesungguhnya Allah Telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat,“ (Al-Mujadilah: 1)

AYAT diatas yang mengawali surah Al-Mujadilah yang berarti wanita yang mengajukan gugatan (Eng: accusation, suit, claim, criticism ) dapat dibaca dari dua sudut pandang; sisi keperihan hati seorang isteri atau sisi ketegaran (Eng: tough, stiff, rigid) serta keberaniannya menghadapi perilaku suami. Surah ini termasuk surah yang unik dilihat dari segi pemaparan hukum zihar yang diawali dengan pengungkapan sebab turun dan peristiwa yang melatarbelakangi berlakunya hukum hakam seputar (BM: berkenaan)  zihar. Ibnu Asyur menyimpulkan, diantara keunikan surah ini bahwa hukum zihar yang menjadi fokus surah ini jutru diawali dengan menyebutkan sebab turunnya terlebih dahulu untuk menunjukkan perhatian yang besar kepada wanita yang menjadi subjek dalam peristiwa zihar pertama dalam Islam yang mengadukan permasalahannya dan menuntut hak dan keadilan atas perilaku suaminya yang cenderung mengabaikan dirinya dan anak-anaknya setelah sekian lama mengecapi kehidupan rumah tangga.

Senada dengan Ibnu Asyur, Sayyid Quthb mengagumi permulaan surah ini dengan menyatakan bahwa surah ini diawali dengan sebuah gambaran yang unik dalam sejarah kemanusiaan. Gambaran yang konkrit tentang wujudnya pertalian dan hubungan yang kuat dan tidak terputus antara langit dan bumi. Keterlibatan langit dengan kejadian sehari-hari di bumi meskipun terhadap sebuah keluarga kecil yang tidak memiliki keistimewaan apapun. Semata-mata untuk menetapkan hukum Allah demi keadilan yang berlaku untuk hambaNya. Demikian Allah akan senantiasa hadir mengawasi dan memperhatikan kebutuhan dan tuntutan hambaNya. Sesaatpun Allah tidak akan pernah lalai akan keadaan hambaNya, siapapun tanpa terkecuali seperti yang terjadi pada seorang wanita tua yang menyampaikan keperihan hatinya dan menuntut hak seorang istri atas perlakuan suaminya yang tidak mengormati haknya.



Tujadilu ’ yang menjadi kata kunci ayat diatas bisa difahami dengan dua pengertian menurut mufassir Zamakhsyari, yaitu dalam arti ‘tastaghitsu’ meminta pertolongan dan dalam arti ‘tastarhimu’ yaitu memohon kasih sayang Allah سبحانا وتعاﱃ . Pada kedua makna bahasa ini tercermin maksud pengaduan wanita tua tersebut kepada Allah. Ia meminta pertolongan sekaligus memohon kasih sayang Allah agar permasalahan yang dihadapinya yang merungsingkan fikiran dan mengganggu keharmonisan rumah tangganya segera mendapatkan jawaban yang tuntas (Eng: complete, total, thorough  )langsung dari Yang Maha Bijaksana. Disini terekam keberanian dan ketegaran seorang wanita dalam menghadapi persoalan internal rumah tangganya. Seorang isteri memang dituntut memiliki kesabaran ekstra disamping tidak mudah patah semangat dalam menghadapi apapun persoalan rumah tangga yang menjadi sunnah dan romantika kehidupan keluarga.

Allah سبحانا وتعاﱃ  mengabadikan kisah ketegaran dan keberanian seorang wanita justru di awal surah yang mengawali juz ke 28 agar mudah ditemukan. Dalam banyak riwayat disebutkan bahwa wanita itu bernama Khaulah binti Tsa´labah yang telah diperlakukan secara ‘zihar’ oleh suaminya Aus ibn Shamit, yaitu dengan mengatakan kepada isterinya: “Kamu bagiku seperti punggung ibuku” dengan maksud dia tidak boleh dan tidak akan menggauli isterinya kembali, sebagaimana ia tidak boleh menggauli ibunya. Menurut adat Jahiliyah saat itu, ungkapan zihar secara hukum sama dengan mentalak isteri. Maka Khaulah mengajukan gugatan kepada Rasulullah وسلم علي ﷲ صلى seraya meminta kepastian hukum tentang perilaku suaminya tersebut. Rasulullah menjawab bahwa dalam hal persoalan ini belum ada keputusan dari Allah سبحانا وتعاﱃ  sehingga  Rasulullah وسلم علي ﷲ صلى mengatakan:
     “Engkau telah diharamkan bersetubuh dengan dia.” Khaulah kembali menyampaikan argumentasinya: “Suamiku belum mengeluarkan kata-kata talak.”

Berulang kali Khaulah mendesak  Rasulullah وسلم علي ﷲ صلى supaya menetapkan suatu keputusan hukum tentang persoalan yang dihadapinya. Maka turunlah ayat ini dan ayat-ayat berikutnya yang menjelaskan secara rinci (Eng: detailed) hukum hakan seputar zihar yang belum pernah ada sebelumnya.


Dalam riwayat yang lebih rinci dari Aisyah, wanita yang bernama Khaulah binti Tsa’labah (sesuai dengan nama bapaknya) atau Khaulah binti Khuwailid (nisbah kepada nama kakeknya (BM: Datuk)) menuturkan kepedihan hatinya atas perilaku suaminya yang melakukan zihar terhadap dirinya,
    Wahai Rasulullah, ia telah merenggut masa mudaku dan aku hamil karenanya. Namun ketika aku berusia lanjut dan tidak mampu melahirkan anak kembali, ia malah menziharku. Aku tidak kuasa menahan keperihan ini karena aku memiliki anak yang banyak. Jika aku menyerahkan anak-anakku kepadanya bisa jadi mereka akan kelaparan karena kemiskinan suamiku. Namun jika anak-anakku yang masih kecil bersamaku, maka mereka akan merasakan kehilangan bapaknya. Wahai Rasulullah, putuskanlah untuk kami yang bisa mengumpulkan kami kembali bersamanya karena ia telah menyesali perbuatannya.” Rasulullah وسلم علي ﷲ صلى menjawab: “Ia telah diharamkan untuk kamu.

Wanita itu terus mengadukan persoalannya kepada  Rasulullah وسلم علي ﷲ صلى sambil menengadah ke langit memohon kasih sayang Allah. Lantas Allah menurunkan ayat ini sebagai jawaban atas peristiwa zihar yang melibatkan diri dan suaminya.

Jelas zihar merupakan ungkapan yang menyakitkan hati seorang wanita, karena kata-kata seperti itu jelas menunjukkan sikap suami yang tidak memperdulikan atau cenderung tidak menghargai pengorbanan dan layanan isterinya. Bahkan ia tega (Eng: to have the heart (nerve) to, dare, venture) mengeluarkan kata-kata yang menyinggung perasaan seakan-akan ia tidak pernah merasakan manisnya kehidupan suami isteri selama ini. Sungguh di luar dugaan Khaulah memang, bagaimana mungkin suami yang sangat disayanginya tiba-tiba berubah sikap dan mulai berani mengeluarkan kata-kata ketus (Eng: sharp (in reply), speaking in an angry tone) yang menyinggung perasaannya justru di saat ia mendambakan hadirnya cinta yang tulus dari suaminya memasuki usia lanjut keduanya.

Peristiwa ini benar-benar membekas di hati isteri  Rasulullah وسلم علي ﷲ صلى, Aisyah  رضي الله عنه. Ia berujar seraya memuji wanita tersebut:
    Segala puji milik Allah yang luas pendengaranNya meliputi segala suara. Telah datang seorang wanita yang mengadu persoalannya kepada Nabi. Saya tidak dapat mendengar pengaduannya padahal saya berada di sisi rumah dan Allah Maha Mendengar dengan menurunkan ayat ini”. (Diriwayatkan oleh Bukhari, Ahmad, Nasa’i dan Ibnu Majah)

Tentu merupakan suatu hal yang luar biasa manakala Allah langsung mendengar aduan dan jeritan hati seorang wanita yang ingin mengetahui kepastian hukum dengan suaminya. Bahkan Allah menurunkan jawaban langsung tentang persoalan yang diperselisihkan tersebut. Padahal ia hanya seorang wanita biasa, bukan wanita yang memiliki kedudukan istimewa di sisiNya. Namun begitulah Allah hadir untuk siapapun yang benar-benar mengadukan jeritan hatinya dengan tulus hanya kepadaNya.

Setelah turun jawaban dari Allah melalui ayat ini,  Rasulullah وسلم علي ﷲ صلى memanggil Aus bin Shamit suami Khaulah:
    Apakah gerangan yang membuatmu berlaku demikian?” Ia menjawab: “Syaitan yang menggodaku”.  Rasulullah وسلم علي ﷲ صلى bertanya lagi: “Apakah kamu kuat untuk berpuasa?”. “Tidak ya Rasulullah”. Kalau begitu apakah kamu mampu memerdekakan hamba sahaya”. “Tidak juga wahai Rasulullah, aku tidak memiliki harta yang banyak untuk memerdekakan budak”. Rasulullah bertanya untuk ketiga kalinya: “Apakah kamu bisa memberi makan kepada 60 orang miskin”. Ia menjawab: “Justru sayalah orang sangat membutuhkan bantuan”. Maka Rasulullah memberinya 15 sha’ yang ia sedekahkan kepada 60 fakir miskin.” (Diriwayatkan oleh Abu Daud)


KISAH UMAR  رضي الله عنه DINASIHATI KHAULAH BINTI TSA’LABAH


Sejak peristiwa besar yang mengangkat posisi wanita ini, Umar bin Khattab  رضي الله عنه siap untuk mendengarkan nasihat wanita tersebut kapanpun, seperti yang diriwayatkan bahwa suatu hari Umar berjalan bersama pengawalnya persis di depan Khaulah binti Tsa’labah. Lantas wanita itu memberhentikan langkah Umar dan berbicara kepadanya seraya menasehati:
    “Bertakwalah wahai Amirul Mu’minin, karena seorang yang yakin dengan kematian ia takut terlewat (tidak beramal) dan siapa yang takut dengan hisab, pasti ia takut dengan azab.”
Umar menyimak nasehat wanita tersebut dengan cermat tanpa berganjak sedikitpun sehingga para pengawalnya berkata,
    “Wahai Khalifah, siapa gerangan wanita tua ini? Engkau benar-benar tidak berganjak saat wanita itu menasehati”. Umar berkata: “Ketahuilah, seandainya wanita ini menghentikan perjalananku dari siang hingga malam, aku akan menurutinya walau dalam keadaan apapun kecuali untuk shalat. Tidakkah kamu tahu, inilah wanita yang didengar pengaduannya langsung oleh Allah dari langit ke tujuh. Jika Allah berkenan mendengar aduan wanita tersebut, kenapa Umar tidak?”

Demikian sepenggal (Eng: piece, lump, fragment) kisah yang menyentuh sisi ketegaran dan keberanian seorang wanita dibalik kelembutan dan ketidakberdayaannya menghadapi perilaku suami yang cenderung tidak perduli dengan perasaan seorang isteri yang telah berbuat banyak hal untuk dirinya. Kisah penghargaan Allah yang istimewa terhadap sosok wanita tentu harus menjadi pelajaran yang berharga bagi keluarga manapun, bahwa hak seorang isteri mutlak harus dipenuhi selaras dengan pengorbanan dan peran (pernanan) besarnya dalam membina rumah tangga yang harmonis dibawah naungan ridha Allah سبحانا وتعاﱃ .



Oleh: Dr. Attabiq Luthfi, MA

:::: 3 Safar 1432 ::::
[Semua Gambar Adalah Hiasan]



___________________________________
Dipetik Dari:
http://www.dakwatuna.com/2009/pelajaran-dari-ketegaran-seorang-wanita/

Shared By Bicara Hidayah

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bersalawat (memuji dan berdoa) ke atas Nabi. Wahai orang-orang yang beriman bersalawatlah kamu ke atasnya serta ucapkanlah salam dengan penghormatan. “[Al-Ahzab: 56]

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ، اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ

[Al-Bukhariy/ 4519], [Ibnu Majah/ 904, sahih]

Wednesday, January 5, 2011

MEMBACA KASIH SAYANG ALLAH

Dan Dia (Allah) Telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadaNya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim lagi sangat mengingkari (kufur nikmat)“. (Ibrahim: 34)

MEMBACA merupakan perintah pertama Allah dalam الْقُرْآنَ yang ditujukan langsung kepada manusia pilihan-Nya,   رسول الله  وسلم علي ﷲ صلى melalui wahyu pertama ‘Iqra’ (bacalah) dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan’ (Al-Alaq: 1). Membaca di sini harus difahami dalam arti yang luas karena memang objek membaca dalam wahyu pertama tersebut tidak dibatasi dan tidak ditentukan; Bacalah! Berarti beragam yang layak dan harus dibaca. Salah satu objek terbesar yang harus dibaca adalah kasih sayang Allah سبحانا وتعاﱃ yang terhampar di seluruh jagat raya ini tanpa terkecuali. Semuanya adalah bukti dan tanda kasih sayang Allah سبحانا وتعاﱃ untuk seluruh makhluk ciptaan-Nya.


SENTIASA MEMBACA HAMPARAN KARUNIA ALLAH YANG TIADA TERHINGGA

Untuk itu, ayat di atas hadir untuk mengingatkan manusia akan kasih sayang Allah سبحانا وتعاﱃ yang memberikan segala yang dibutuhkan, sekaligus merupakan perintah untuk senantiasa membaca karunia tersebut agar tidak termasuk orang yang zalim, apalagi kufur nikmat seperti yang disebutkan di kalimat terakhir ayat tersebut di atas ‘Sesungguhnya manusia itu sangat zhalim lagi sangat ingkar nikmat.’

Tentu, ayat ini tidak berdiri sendiri seperti juga seluruh ayat-ayat Al-Quran. Setiap ayat memiliki keterkaitan dan korelasi dengan ayat sebelum atau sesudahnya yang menunjukkan wahdatul Qur’an kesatuan dan kesepaduan ayat-ayat الْقُرْآنَ, termasuk ayat di atas ini harus dibaca dengan mengkorelasikannya dengan dua ayat sebelumnya yang menggambarkan sekian banyak dari nikmat Allah سبحانا وتعاﱃ yang harus dibaca dengan penuh kesadaran:

    “Allahlah Yang telah menciptakan langit dan bumi serta menurunkan air hujan dari langit, Kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezki untukmu; dan Dia pula telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu, berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai. Dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan bagimu malam dan siang.” (Ibrahim: 32-33)

Ayat yang senada dengan ayat di atas dalam bentuk tantangan Allah kepada seluruh makhluk-Nya sekaligus perintahNya untuk membaca hamparan karunia nikmat-Nya yang tiada terhingga adalah surah An-Nahl: 18 

    “Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Dalam penutup ayat ini Allah سبحانا وتعاﱃ hadir dengan dua sifat yang merupakan puncak dari kasih sayang-Nya, yaitu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’.




KETIDAK BERDAYAAN HAMBA ALLAH DALAM MENGHITUNG  DAN BERSYUKUR NIKMAT-NYA

Ibnu Katsir mengungkapkan penafsirannya dalam kitab Tafsir الْقُرْآنَ Al-Azhim bahwa selain dari perintah Allah untuk membaca nikmat Allah, pada masa yang sama merupakan sebuah pernyataan akan ketidak berdayaan hamba Allah سبحانا وتعاﱃ dalam menghitung nikmat-Nya, apalagi menjalankan kesyukuran karenaNya, seperti yang dinyatakan oleh Thalq bin Habib:
    “Sesungguhnya hak Allah sangat berat untuk dipenuhi oleh hamba-Nya. Demikian juga nikmat Allah begitu banyak untuk disyukuri oleh hamba-Nya. Karenanya mereka harus bertaubat siang dan malam.”



LANGKAH-LANGKAH MENSYUKURI NIKMAT ALLAH

Membaca kasih sayang Allah merupakan langkah awal mensyukuri nikmat-Nya. Untuk membuktikan bahwa seseorang telah melakukan syukur nikmat, paling tidak terdapat empat langkah yang harus dipenuhinya:
  • Pertama, mengekpresikan kegembiraan dengan kehadiran nikmat tersebut.
  • Kedua, mengapresiasikan rasa syukur atas nikmat tersebut dengan ungkapan lisan dalam bentuk pujian.
  • Ketiga, membangun komitmen dengan memelihara dan memanfaatkan nikmat tersebut sesuai dengan kehendak Sang Pemberi nikmat.
  • Keempat, mengembangkan dan memberdayakannya agar melahirkan kenikmatan yang lebih besar di masa yang akan datang sesuai dengan janji Allah سبحانا وتعاﱃ dalam firman-Nya:
    “Jika kalian bersyukur maka akan Aku tambahkan nikmat-Ku kepadamu.” (Ibrahim: 7) Di sini kesyukuran justru diuji apakah dapat membuahkan kenikmatan yang lain atau malah sebaliknya, menghalangi hadirnya nikmat Allah سبحانا وتعاﱃ dalam bentuk yang lainnya.


PROJEK IBLIS MENGHALANG MANUSIA DARI BERSYUKUR KEPADA ALLAH

Ternyata memang mega projek (proyek) Iblis terhadap manusia adalah bagaimana menjauhkannya dari kasih sayang Allah سبحانا وتعاﱃ sehingga mereka senantiasa hanya membaca ujian dan cobaan yang menimpanya agar mereka tidak termasuk kedalam golongan yang mensyukuri nikmat-Nya. Padahal secara jujur, kasih sayang Allah سبحانا وتعاﱃ dalam bentuk anugerah nikmat-Nya pasti jauh lebih besar daripada ujian maupun sanksi-Nya (English: sanction), BM: kelulusan, kebenaran). Di sini, kelemahan manusia membaca nikmat merupakan keberhasilan projek iblis menyesatkan manusia. Allah menceritakan tentang projek Iblis dalam firman-Nya:
    “Iblis menjawab: “Karena Engkau Telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus. Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur. (Al-A’raf: 16-17)

Dalam konteks ini, sungguh usaha dan kerja Iblis tidak main-main. Ia akan memperdaya manusia dari seluruh segmentasi dan celah kehidupannya tanpa terkecuali. Dalam bahasa Prof. Mutawalli Sya’rawi, “Syaitan akan datang kepada manusia dari titik lemahnya (ya’tisy Syaithan min nuqthah dha’f lil insan).” Jika manusia kuat dari aspek harta, maka ia akan datang melalui pintu wanita. Jika ia kuat pada pintu wanita, ia akan datang dari pintu jabatan dan begitu seterusnya tanpa henti. Sehingga akhirnya hanya segelintir manusia yang akan selamat dari bujuk rayu syetan dan menjadi pribadi yang bersyukur.
 
Allah سبحانا وتعاﱃ pernah berpesan kepada Nabi Daud dan keluarga-Nya agar mewaspadai hal tersebut dalam firman-Nya:
    “Bekerjalah Hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih (bersyukur). (Saba’: 13)

Memang hanya sedikit sekali yang cerdas dan bijak membaca kasih sayang Allah سبحانا وتعاﱃ. Selebihnya adalah manusia yang suka berkeluh kesah, mengeluh dan tidak bersyukur atas karunia nikmat yang ada. Bahkan kerap menyalahkan orang lain, su’uzhan dan berprasangka buruk kepada Allah. Padahal kebaikan dan pahala sikap syukur itu akan kembali kepada dirinya sendiri, bukan kepada orang lain. Karenanya ujian kesyukuran itu akan terus menyertai manusia sampai Allah benar-benar tahu siapa yang bersyukur diantara hamba-Nya dan siapa di antara mereka yang kufur.

Ya Allah, jadikanlah kami termasuk golongan yang sedikit.

Allahu a’lam.


Oleh: Dr. Attabiq Luthfi, MA


:::: 30 Muharram 1432 ::::
[Semua Gambar Adalah Hiasan]


_________________________
Dipetik Dari:
http://www.dakwatuna.com/2009/membaca-kasih-sayang-allah-2/

Shared By Bicara Hidayah

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bersalawat (memuji dan berdoa) ke atas Nabi. Wahai orang-orang yang beriman bersalawatlah kamu ke atasnya serta ucapkanlah salam dengan penghormatan. “[Al-Ahzab: 56]

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ، اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ

[Al-Bukhariy/ 4519], [Ibnu Majah/ 904, sahih]

SABAR DAN صلاة (SOLAT) SEBAGAI PENOLONG

“Jadikanlah sabar dan
صلاة sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu’, (yaitu) orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Tuhannya dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.”   (Al-Baqarah: 45-46)

IBNU
Katsir menjelaskan satu prinsip dan  kaedah dalam memahami الْقُرْآنَ berdasarkan ayat ini bahwa meskipun ayat ini bersifat khusus ditujukan kepada Bani Israel karena konteks ayat sebelum dan sesudahnya ditujukan kepada mereka, namun secara esensi bersifat umum ditujukan untuk mereka dan selain mereka. Bahkan setiap ayat الْقُرْآنَ, langsung atau tidak langsung sesungguhnya lebih diarahkan kepada orang-orang yang beriman, karena hanya mereka yang mahu dan siap menerima pelajaran dan petunjuk apapun dari Kitabullah.

Maka peristiwa yang diceritakan Allah سبحانا وتعاﱃ tentang Bani Israel, terkandung di dalamnya perintah agar orang-orang yang beriman mengambil pelajaran dari peristiwa yang dialami mereka. Begitulah kaedah dalam setiap ayat الْقُرْآنَ sehingga kita bisa mengambil bahagian dari setiap ayat Allah سبحانا وتعاﱃ. “Al-Ibratu Bi’umumil Lafzhi La Bikhusus sabab ” (Yang harus dijadikan dasar pedoman dalam memahami الْقُرْآنَ adalah umumnya lafazh, bukan khususnya sebab atau peristiwa yang melatarbelakanginya).

Perintah dalam ayat di atas sekaligus merupakan solusi agar umat secara kolektif bisa mengatasi dengan baik segala kesulitan dan problematika yang datang silih berganti. Sehingga melalui ayat ini, Allah memerintahkan agar kita memohon pertolongan kepada-Nya dengan senantiasa mengedepankan sikap sabar dan menjaga صلاة dengan istiqamah. Kedua hal ini merupakan sarana meminta tolong yang terbaik ketika menghadapi berbagai kesulitan. رسول الله وسلم علي ﷲ صلى selaku uswah hasanah, telah memberi contoh yang konkrit dalam mengamalkan ayat ini. Di dalam sebuah hadith yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dijelaskan bahwa,
    Sesungguhnya رسول الله وسلم علي صلى   apabila menghadapi suatu persoalan, beliau segera mengerjakan صلاة
Huzaifah bin Yaman menuturkan,
    Pada malam berlangsungnya perang Ahzab, saya menemui رسول الله وسلم علي صلى  , sementara beliau sedang صلاة seraya menutup tubuhnya dengan jubah. Bila beliau menghadapi persoalan, maka beliau akan mengerjakan صلاة
Bahkan Ali bin Abi Thalib menuturkan keadaan رسول الله وسلم علي ﷲ صلى   pada perang Badar,
    Pada malam berlangsungnya perang Badar, semua kami tertidur kecuali رسول الله, beliau صلاة dan berdo’a sampai pagi

Dalam riwayat Ibnu Jarir dijelaskan bagaimana pemahaman sekaligus pengamalan sahabat رسول الله وسلم علي ﷲ صلى  terhadap ayat ini. Diriwayatkan bahwa ketika Ibnu Abbas melakukan perjalanan, kemudian sampailah berita tentang kematian saudaranya Qatsum, ia langsung menghentikan kendaraanya dan segera mengerjakan صلاة dua raka’at dengan melamakan duduk. Kemudian ia bangkit dan menuju kendaraannya sambil membaca, “Jadikanlah sabar dan صلاة sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu’
Secara khusus untuk orang-orang yang beriman, perintah menjadikan sabar dan صلاة sebagai penolong ditempatkan dalam rangkaian perintah dzikir dan syukur.
    Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat (pula) kepadamu dan bersyukurlah kepadaKu dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)Ku. Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan صلاة sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah سبحانا وتعا senantiasa bersama dengan orang-orang yang sabar“. (Al-Baqarah: 152-153)
Dalam kaitan dengan dzikir, menjadikan sabar dan صلاة sebagai penolong adalah dzikir. Siapa yang berdzikir atau mengingat Allah dengan sabar, maka Allah akan mengingatnya dengan rahmat.


BEBAN BERAT AKAN JADI RINGAN JIKA DIIRINGI DENGAN SABAR DAN صلاة


Masih dalam konteks orang yang beriman, sikap sabar yang harus selalu diwujudkan adalah dalam rangka menjalankan perintah-perintah Allah سبحانا وتعاﱃ, karena beban berat yang ditanggungnya akan terasa ringan jika diiringi dengan sabar dan صلاة.

Ibnul Qayyim mengkategorikan sabar dalam rangka menjalankan perintah Allah Taala termasuk sabar yang paling tinggi nilainya dibandingkan dengan sabar dalam menghadapi musibah dan persoalan hidup.

Syekh Sa’id Hawa menjelaskan dalam tafsirnya, Asas fit Tafasir kenapa sabar dan صلاة sangat tepat untuk dijadikan sarana meminta pertolongan kepada Allah سبحانا وتعاﱃ. Beliau mengungkapkan bahwa sabar dapat mendatangkan berbagai kebaikan, sedangkan صلاة dapat mencegah dari berbagai perilaku keji dan munkar, disamping juga صلاة dapat memberi ketenangan dan kedamaian hati. Keduanya (sabar dan صلاة) digandingkan dalam kedua ayat tersebut dan tidak dipisahkan, karena sabar tidak sempurna tanpa صلاة, demikian juga صلاة tidak sempurna tanpa diiringi dengan kesabaran. Mengerjakan صلاة dengan sempurna menuntut kesabaran dan kesabaran dapat terlihat dalam صلاة seseorang.

 Lebih terprinci (rinci), Syekh Sa’id Hawa menjelaskan sarana lain yang terkait dengan sabar dan صلاة yang bisa dijadikan penolong. Puasa termasuk ke dalam perintah meminta tolong dengan kesabaran karena puasa adalah separuh dari kesabaran. Sedangkan membaca Al-Fatihah dan doa termasuk ke dalam perintah untuk meminta tolong dengan صلاة karena Al-Fatihah itu merupakan bahagian dari صلاة, begitu juga dengan do’a.

Memohon pertolongan hanya kepada Allah merupakan ikrar yang selalu kita lafazkan dalam setiap صلاة kita, “Hanya kepada-Mu-lah kami menyembah dan hanya kepadaMulah kami mohon pertolongan“. Agar permohonan kita diterima oleh Allah, tentu harus mengikuti tuntunan dan petunjuk-Nya. Salah satu dari petunjuk-Nya dalam memohon pertolongan adalah dengan sentiasa bersikap sabar dan memperkuat hubungan yang baik dengan-Nya dengan menjaga صلاة yang berkualitas. Disinilah صلاة merupakan cerminan dari penghambaan kita yang tulus kepada Allah.


ESENSI SABAR


Esensi sabar menurut Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dapat dilihat dari dua hal:
  • Pertama, sabar karena Allah atas apa yang disenangi-Nya, meskipun terasa berat bagi jiwa dan raga.
  • Kedua, sabar karena Allah atas apa yang dibenci-Nya, walaupun hal itu bertentangan keinginan hawa nafsu. Siapa yang bersikap seperti ini, maka ia termasuk orang yang sabar yang Insya Allah akan mendapat tempat terhormat.

Betapa kita sangat membutuhkan limpahan pertolongan Allah سبحانا وتعاﱃ dalam setiap aktivitas dan persoalan kehidupan kita. Adalah sangat tepat jika secara bersama-sama kita bisa mengamalkan petunjuk Allah سبحانا وتعاﱃ dalam ayat di atas agar permohonan kita untuk mendapatkan pertolongan-Nya segera terealisasi. Amin


Oleh: Dr. Attabiq Luthfi, MA

:::: 30 Muharram 1432 ::::
[Semua Gambar Adalah Hiasan]


_________________________
Dipetik Dari:
http://www.dakwatuna.com/2006/menjadikan-sabar-dan-shalat-sebagai-penolong/

Shared By Bicara Hidayah

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bersalawat (memuji dan berdoa) ke atas Nabi. Wahai orang-orang yang beriman bersalawatlah kamu ke atasnya serta ucapkanlah salam dengan penghormatan. “[Al-Ahzab: 56]
    اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ، اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ
[Al-Bukhariy/ 4519], [Ibnu Majah/ 904, sahih]

Tuesday, January 4, 2011

PENYEBAB TAKABUR

TAKABUR yang telah kita ketahui definisinya[1][2] merupakan penyakit hati tingkat tinggi yang harus diwaspadai oleh semua muslim.

Dikatakan penyakit hati tingkat tinggi karena sejarah iblis laknatullah dimulai dari penyakit satu ini. Merasa lebih tinggi dari Adam, ia lalu mendurhakai perintah Allah untuk bersujud padanya. Abaa wastakbara, kata Al-Qur’an. Demikian pula para penguasa taghut yang menjadi musuh para nabi dan rasul, semuanya dihinggapi penyakit ini.
Dengan mengetahui faktor-faktor penyebab suatu penyakit, diharapkan kita bisa menghindarinya. Demikian pula dengan takabur ini. Ada beberapa faktor penyebab yang semoga setelah kita mengetahuinya lalu berupaya keras untuk menghindarinya, sebagaimana kita menghindari api yang telah kita ketahui panasnya bisa membakar kita.

Berikut ini adalah sebagian dari faktor penyebab takabur:



1. SALAH DALAM MEMAHAMI HAKIKAT DIRINYA

Iblis sebagai makhluk pertama yang dihinggapi takabur hingga membuatnya terlempar dari surga, melakukan kesalahan fatal dalam memandang hakikat dirinya. Ia lupa betapapun ia ditempatkan di surga, sebenarnya ia adalah makhluk Allah.

Demikian pula orang yang takabur, terutama ketika merendahkan orang lain. Ia salah dalam memandang hakikat dirinya yang pada mulanya tercipta dari air yang hina.

    "Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina." (QS. As-Sajdah : 8)


EMPAT SYARAT HIDUPKAN HATI DENGAN الْقُرْآنَ

HATI
yang hidup menggerakkan potensi yang ada pada diri seseorang. Sebaliknya, hati yang mati membunuh segala bakat dan potensi diri. Sesuatu umat hanya boleh dibangunkan dengan menggerakkan potensi dirinya serta mengarahkannya kepada pembangunan. Dengan pengutusan رسول الله ﷺ, segala bakat dan potensi sahabat yang selama ini terpendam digerakkan dengan penghayatan الْقُرْآنَ.

Hati yang hidup adalah hati yang subur dan bersedia untuk mendengar, melihat dan menerima kebenaran.

Hati yang hidup begini mempunyai nur, tenaga dan kekuatan. Ia sentiasa tunduk dan patuh kepada Allah dengan penuh khusyuk, takwa serta kasih dan simpati kepada sesama makhluk.

Hati yang dihidupkan dengan الْقُرْآنَ bersedia mematuhi segala perintah syarak.

Dengan mematuhi segala perintah syarak barulah kehidupan manusia akan sempurna. Bukankah Allah berfirman bermaksud:
    “Sesungguhnya الْقُرْآنَ ini membimbing ke jalan yang lurus (benar).” (Surah al-Isra’, ayat 9)
Perkara ini disebutkan juga dalam firman-Nya bermaksud:
    “Taha (maknanya hanya diketahui Allah). Kami tidak menurunkan الْقُرْآنَ kepadamu supaya kamu menjadi susah, tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut kepada Allah; iaitu diturunkan daripada Allah yang menciptakan bumi dan langit yang tinggi?” (Surah Taha, ayat 1-4)

SYARAT UNTUK MENGHIDUPKAN HATI

Maka untuk menghidupkan hati dengan الْقُرْآنَ, kita memerlukan beberapa syarat:

PERTAMA, الْقُرْآنَ hendaklah dibaca dengan tenang dan khusyuk, dalam keadaan bersunyi diri (berkhalwah), terutama pada waktu tengah malam atau fajar (Subuh). Allah berfirman bermaksud:

    “Sesungguhnya membaca الْقُرْآنَ pada waktu fajar (Subuh) itu disaksikan malaikat.” (Surah al-Isra’, ayat 78).

KEDUA, membaca الْقُرْآنَ dengan pengamatan maknanya seperti yang dijelaskan dalam firman Allah bermaksud:
    “Tidakkah mereka merenungi (tadabur) الْقُرْآنَ itu?” (Surah Muhammad, ayat 24)
Pembacaan yang disertai dengan renungan dan pengamatan sedemikian akan membuka pintu hati seseorang untuk menerima kebenaran yang terkandung dalam الْقُرْآنَ.

Dengan perkataan lain, roh dari alam tinggi (alam Ketuhanan) yang dibawa oleh الْقُرْآنَ itu akan turun dan meresapi ke dalam hati pembaca الْقُرْآنَ kemudian ia menghidupkannya.

Dengan itu hati dapat mengenal kebenaran dengan mudah dan mencintainya. Nilai kebenaran dan kebaikan akan tumbuh subur dalam jiwanya. Lantas ia menyukai kedua-keduanya, tetapi membenci dan menentang kebatilan dan kejahatan.

KETIGA, sentiasa bersikap bersedia untuk menerima kebenaran الْقُرْآنَ sebelum membaca atau mendengarnya.

Manusia sering dikuasai oleh hawa nafsunya. Segala keinginan dunia (hingga membawa kepada kegilaan) adalah dinding (hijab) tebal yang menutup hati seseorang itu sehingga menyebabkan enggan menerima hidayah Allah melalui الْقُرْآنَ.


KEEMPAT, merealisasikan kehambaan (‘ubudiyyah) diri sewaktu membaca الْقُرْآنَ.

Perasaan ini akan dapat menimbulkan keazaman untuk merealisasikan segala ajaran الْقُرْآنَ yang dibaca itu dalam kehidupan. Ini semata-mata untuk mendapatkan keredaan Allah.

Dalam perkataan lain, pembacaan yang sedemikian akan menimbulkan keazaman untuk bermujahadah iaitu melawan kemahuan diri yang bertentangan dengan tuntutan ‘ubudiyyah kepada Allah.

Melaksanakan segala perintah Allah yang terkandung dalam الْقُرْآنَ adalah tafsiran makna ayat yang dibacanya itu di dalam kehidupan.

Untuk memastikan ia terus hidup dan segar, maka hati perlu sentiasa menjalani proses mujahadah (melawan segala kemahuan diri yang bertentangan dengan ajaran Islam).

Hati yang tidak bermujahadah, ertinya hati itu beku dan kotor. Hati yang kotor dan beku menyebabkan seseorang itu tidak ingin melakukan kebaikan, malah ia sentiasa melakukan perkara yang bertentangan dengan ajaran Islam.


Perkara ini dijelaskan dalam hadis رسول الله ﷺ bermaksud:
    “Huzaifah berkata: Aku pernah mendengar رسول الله bersabda: Fitnah akan melekat di hati manusia bagaikan tikar yang dianyam secara tegak-menegak antara satu sama lain. Mana-mana hati yang dihinggapi oleh fitnah, nescaya akan terlekat padanya bintik-bintik hitam. “Begitu juga dengan hati yang tidak dihinggapinya, akan terlekat padanya bintik-bintik putih sehinggalah hati itu terbahagi kepada dua. “Sebahagiannya menjadi putih bagaikan batu licin yang tidak lagi terkena bahaya fitnah, selama langit dan bumi masih ada, manakala sebahagian yang lain menjadi hitam keabu-abuan seperti bekas tembaga yang berkarat, tidak menyuruh kebaikan dan tidak pula melarang kemungkaran, segala-galanya adalah mengikut keinginan.” (Riwayat al-Bukhari di dalam Kitab Iman, Hadis No. 207)


Oleh Mohd Shukri Hanapi

:::: 29 Muharram 1432 ::::

Semua Gambar Adalah Hiasan

_______________________________
Dipetik Dari:
http://nurjeehan.hadithuna.com/2007/02/empat-syarat-hidupkan-hati-dengan-al-quran/

Shared By Bicara Hidayah

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bersalawat (memuji dan berdoa) ke atas Nabi (Muhammad s.a.w). Wahai orang-orang yang beriman bersalawatlah kamu ke atasnya serta ucapkanlah salam dengan penghormatan. “[Al-Ahzab: 56]

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ، اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ

Monday, January 3, 2011

MENGINGATI MATI CARA TERBAIK MANUSIA MENASIHATI DIRI SENDIRI

Mati membuktikan kepada manusia bahawa sebenarnya ia tidak pernah memiliki sesuatu pun.

KESERONOKAN hidup di dunia akan tergugat dengan datangnya Izrail yang mencabut roh dari jasad dan berakhirlah segala kenangan mengenai si polan yang dikasihi. Mati membuktikan kepada manusia bahawa sebenarnya ia tidak pernah memiliki sesuatu pun. Mati juga membangunkan kita daripada angan-angan yang panjang mengenai nikmat hidup yang tak bererti tanpa sifat berkekalan. Dunia adalah permainan dan kehidupan sebenarnya bermula di akhirat, konsep percaya kepada alam barzakh iaitu hari kebangkitan yang mampu menyedarkan manusia untuk bertanggungjawab dalam menjalani kehidupan.

Mustahil bagi manusia mengetahui empat hal ghaib, kelahiran dan kematian; rezeki; amal dan kesudahan hidupnya sama ada celaka atau bahagia yang terpatri di luh mahfuz. Empat rahsia itu tersimpan di bank data ciptaan Allah Yang Maha Mengetahui dengan pengetahuan yang tidak terjangkau oleh akal fikiran manusia biasa kerana manusia dicipta dengan akal fikiran yang terbatas.


KETAKUTAN DAN PENGHARAPAN

Penerokaan akalnya tak akan dapat menjawab persoalan bilakah kelahiran dan kematian berlaku, supaya ketakutan dan pengharapan kepada Allah sentiasa hadir pada nalurinya yang paling tajam. Supaya kekuatan iradah menerusi elemen akal, jasmani dan rohani terus bergejolak menyahut seruan Yang Maha Mencipta memandangkan adalah dunia tempat bermujahadah untuk memenangi akhirat.

Ini semua bagi menghasilkan kesedaran bahawa kita semua akan mati sebagaimana sabda Rasulullah bermaksud:  

    "Perbanyakkanlah olehmu mengingat perosak kelazatan, iaitu mati." (Hadis riwayat al-Tirmizi)

Kemampuan untuk mengingati mati adalah sebaik-baik kecerdasan dan kebijaksanaan seseorang. Apabila kegembiraan mencurah-curah dari hati, bolehkah kita selitkan peringatan mengenai mati, apabila cita-cita tercapai, kemewahan dikecapi, kebahagiaan tak sudah-sudah, adakah kita ingat esok kita mati dan semua akan musnah? Berhasilkah kita menasihati diri sendiri pada saat kelalaian dan lupa daratan?


MENUNDA TAUBAT

Sungguh susah kerana kita cenderung kepada tarikan cinta dunia dan takut mati. Takut mati yang diamalkan oleh kebanyakan manusia akhir zaman ialah tidak bersedia menghadapi kematian dengan persediaan amal salih, leka dengan dosa dan kekotoran yang terpalit pada diri.

Menunda taubat dan menyangka masih banyak kesempatan untuk peluang terakhir padahal setiap hari berlalu tanah di perkuburan memanggil, bahkan mengancam manusia yang degil. Rasulullah bersabda:   

    "Bahawasanya tidak berlalu satu hari ke atas kubur melainkan kubur berkata (kepada manusia): Akulah rumah pengasingan, akulah rumah persendirian, akulah rumah tanah, akulah rumah yang penuh dengan ulat. Dan apabila dikuburkan orang yang bermaksiat dan orang yang kafir maka kubur berkata kepadanya: Tidak ada ucapan selamat datang bagimu, sesungguhnya engkau adalah orang yang paling kubenci yang berjalan di atasku. Pada hari ini segala urusanmu telah diserahkan kepadaku maka engkau akan lihat betapa aku akan membalas perbuatanmu. Lalu kubur itu menghimpitnya sehingga berselisih tulang-tulang rusuknya." (Hadis Riwayat al-Tirmizi) 

Saat itu penilaian terhadap diri bermula tetapi penyesalan tak merubah apapun, hanya kesedaran betapa ruginya meremehkan nilai sesuatu amal hatta bersedekah dengan sepotong kurma yang boleh menyelamatkan dari api neraka. Pada masa itu akan terkenang kita peluang yang tak direbut, saat leka dengan hiburan, kemalasan dan menunda ibadat yang menjadi kebiasaan.


MENANGISLAH

Maka menangislah mata-mata yang tak pernah menangis (kerana takut pada Allah) dan ketakutan hati-hati yang tak pernah takut. Menggigil sekujur badan yang akan menanggung salah lakunya sendiri. Tidak pernah dalam satu hari pun kecuali pada hari itu ia berasa begitu menyesal dan berputus asa dengan keadaannya, malangnya peluang kedua sudah tiada lagi.

Sebelum kedatangan maut, adakah kita mempunyai impian pada saat akhir kehidupan seperti merancang untuk menikmati kemationan dengan tenteram, meninggalkan orang tersayang dengan reda dan paling penting kerinduan untuk bertemu Allah.

Rasulullah bersabda:

    "Barang siapa yang tidak suka bertemu dengan Allah, sesungguhnya Allah pun tidak suka bertemu dengannya." (Hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim)

Pertemuan itu adalah pertemuan paling istimewa dengan panggilan istimewa nafs muthmainnah (jiwa yang tenang)dan ajakan yang mulia (kembalilah kepada Rabbmu) bahkan pelawaan yang amat berharga (masuklah ke dalam syurga-Ku). (Surah al-Fajr)

Itulah impian hamba Allah mengenai kematian kerana bagi mereka bahagia bukan hanya ketika masih hidup bahkan di saat akhir pun mesti dilalui dengan perasaan bahagia dan reda. Betapa ruginya mereka yang terperosok masuk ke dalam lubang yang digali syaitan padahal perjalanan panjang yang dilalui sebelum ini dapat dengan mudah dilaluinya tetapi di penghujung jalan mereka terperangkap.

Rasulullah bersabda bermaksud:   

    "Maka demi Allah yang tiada Tuhan selain-Nya. Sesungguhnya salah seorang kamu mengerjakan amal ahli syurga sehingga tidak ada jarak antaranya dengan syurga melainkan sehasta, kemudian terdahulu ketentuan yang tertulis lalu ia mengerjakan amalan ahli neraka maka masuklah ia ke dalamnya." (Hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim)

Pastikan kita melalui kematian dengan persediaan rapi, amal yang cukup, sebutan dan kenangan yang baik kerana impian kita semua adalah husnul khatimah.



Dr Juanda Jaya

:::: 29 Muharram 1432 ::::
Semua Gambar Adalah Perhiasan
___________________________________
Dipetik Dari:
http://nurjeehan.hadithuna.com/2007/02/mengingati-mati-cara-terbaik-manusia-menasihati-diri-sendiri/

Shared By Bicara Hidayah

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bersalawat (memuji dan berdoa) ke atas Nabi (Muhammad s.a.w). Wahai orang-orang yang beriman bersalawatlah kamu ke atasnya serta ucapkanlah salam dengan penghormatan. [Al-Ahzab: 56]
    اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ، اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ

SETIAP KESALAHAN ADALAH BEBAN


KESALAHAN  yang pernah kita lakukan adalah beban. Mengingatnya membuat kita malu pada diri sendiri. Melupakannya akan menjadikannya catatan hidup yang terus menghantui.

Setiap orang pernah berdosa. Namun ada orang yang sudah mulai meninggalkannya.  Tetapi ada juga yang sedang intensif melibatinya.  Bahkan ada juga yang sedang merencanakannya. Jadi, ada dosa yang sudah ditinggalkan, ada dosa yang sedang dikerjakan, dan ada juga doa yang sedang direncanakan.

UNTUK DOSA YANG TELAH KITA LAKUKAN, kita harus meninggalkannya.  Kita mengakui kepada diri sendiri bahwa kita telah melakukannya.   Kita menyesal telah mencoreng diri, dan takkan mengulangi.  Kita tidak boleh melupakan dosa kita dalam hati… Justru kita harus mengingatnya agar kita tidak merasa diri suci, dan menjadikannya pijakan memperbaiki diri.

UNTUK DOSA YANG TENGAH KITA LAKUKAN, biasanya nafsu kita terus memberi kita pembenaran atas dosa itu, sehingga kita mungkin terjerumus juga akhirnya. Nasihat dan peringatan tidak kita hiraukan.  Apalagi setan takkan pernah diam mengupayakan kita sebagai temannya. Dan saat dosa mulai kita peragakan, biasanya ia menuntut kita untuk melakukan kesalahan lain yang menjadi pengantar, pemanis, atau pelengkapnya.  Lalu siapakah yang akan menyelamatkan kita dari keterjerumusan ini? (Semoga kita dilindungi oleh-Nya dari kondisi ini.)

AL-QURAN, AMAL SOLEH PENEMAN KETIKA AJAL DATANG MENJEMPUT


SESIAPA yang tahu bilakah ajalnya datang tentu akan mengalami tekanan akal dan perasaan. Tetapi Allah menjadikan manusia bersifat lupa dan lalai terhadap kematian. Bayangkanlah jika semua manusia tahu hari atau jam berapa dia akan mati, tentu porak-peranda dunia ini.

Kematian adalah misteri yang tidak akan terpecah dengan fahaman rasional semata. Manusia perlukan iman untuk melalui perjalanan menuju kematian dengan reda dan bersedia.

Abdullah bin Mas’ud berkata,

    Nabi صلیﷲ علیﻪ و سلم melukis empat segi untuk kami. Di tengahnya Baginda membuat garisan dan dekat garisan itu Baginda melukis beberapa garisan lain. Baginda juga membuat garisan di luar kemudian bersabda yang bermaksud: “Apakah kamu tahu apa ini? Kami menjawab: Allah dan Rasul-Nya lebih tahu. Baginda bersabda: “Ini adalah insan (garisan yang di tengah), ini adalah ajal dan ia mengepungnya. Ini adalah beberapa hal baru (garisan yang di sekitarnya), ia menggigitnya. Jika luput terhadapnya ajal ini, maka manusia digigit oleh beberapa hal baru ini. Dan yang ini adalah angan-angan (beberapa garisan di luar).” (Hadis riwayat Imam al-Bukhari)

BERTAUBAT SECARA KILAT

Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (Qs. Ali Imran : 133).

ORANG-ORANG mukmin menyadari bahwa kesalahan bisa datang tanpa disadari. Karenanya mereka membiasakan diri mengawali hari dengan taubat. Namun, rentang antara taubat di awal hari dengan hari berikutnya sangat memungkinkan ternodai kesalahan dan kemaksiatan yang baru. Di sinilah letak perbedaan orang-orang mukmin dengan golongan yang lainnya. Seketika, begitu sadar kesalahan atau kemaksiatan terkerja, orang-orang mukmin bersegera bertaubat.

Ibnu Katsir ketika menafsirkan surat Al-Ahzab ayat 53 menceritakan sebuah riwayat bahwa ayat ini berkenaan dengan Thalhah bin Ubaidillah. Sahabat yang dikatakan Sang Nabi sebagai syahid yang berjalan di muka bumi dan tetangga Nabi di surga ini pernah tersilap khilaf. Ia berkeinginan menikahi Aisyah, jika nanti Rasulullah wafat. Maka turunlah ayat ini:

    "Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri- istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) menikahi istri-istrinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah."


Sunday, January 2, 2011

MENGAWAL HARI DENGAN TAUBAT


IBARAT kaca yang terbuka, selalu ada debu yang menempel dan mengotorinya. Meskipun itu adalah kaca jendela milik sebuah rumah di desa. Udaranya segar, minim polusi. Tetapi masih saja ada debu yang datang. Terlebih jika kaca itu berada di dekat jalan raya. Debu-debu beterbangan lebih banyak dan menutupi permukaan lebih cepat. Apalagi jika kaca itu bergerak di jalan raya. Kaca mobil, misalnya.

Demikian pula manusia. Tidak ada satupun yang bersih dari dosa. Ada diantara manusia yang terpeleset oleh dosa-dosa kecil dengan frekuensi yang jarang. Ada pula yang setiap hari, dosa datang mengotori dirinya. Lalu ada pula orang yang bergelimang dengan dosa. Bukan hanya dosa kecil, tetapi juga dosa-dosa besar. Golongan yang terakhir ini jumlahnya lebih banyak.

Mukmin juga manusia. Maka ia tak luput dari dosa. Kalau kita mengecualikan satu orang, maka itu adalah Al-Ma’shum Rasulullah; yang senantiasa dijaga Allah. Bedanya dengan manusia lainnya, mukmin tidak menenggelamkan diri berlama-lama dalam dosa. Tidak menikmati kemaksiatan. Segera ketika tersadar, ia hentikan dosa itu. Menyesal. Dan berkomitmen untuk tidak mengulanginya. Tiga langkah ini disebut para ulama sebagai syarat taubat.

LA TAHZAN (JANGAN BERSEDIH)


JANGANLAH kamu bersikap lemah dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (darjatnya) jika kamu orang-orang yang beriman. [Surah Ali Imran : Ayat 139]

:::: Asbabul(n) Nuzul ::::

Allah berfirman kepada hamba-hambaNya yang mu’min tatkala mereka mendapat musibah dalam perang Uhud dan gugur tujuh puluh orang di antara mereka sebagai syuhada’, bahawa hal yang serupa telah terjadi pada umat-umat yang sebelum mereka. Para pengikut nabi-nabi yang akhirnya mereka yang beruntung dan orang-orang kafirlah yang binasa. Kerananya Allah memerintahkan hamba-hambaNya mengadakan perjalanan untuk melihat dan menyaksikan bagaimana akibat yang dideritai oleh umat-umat yang mendustakan nabi-nabiNya.

Allah berfirman bahawa di dalam Al-Quran terdapat keterangan sejelas-jelasnya bagi umat manusia,juga mengenai umat-umat yang dahulu. Di samping itu, ia adalah petunjuk dan pencegah dari segala perbuatan dosa dan ma’siat.

Allah سبحانا وتعاﱃ melarang hamba-hambaNya janganlah menjadi lemah dan sedih hati kerana apa yang mereka derita dalam perang Uhud. Sebab kemenangan terakhir adalah bagi orang yang mu’min. Dan jika mereka telah mendapat luka-luka dan banyak yang gugur dalam perang Uhud, maka hal yang serupa telah dialami pula oleh musuh-musuh mereka dalam perang Badar. Dan memang demikianlah sunnah Allah yang menggilirkan kehancuran dan kejayaan di antara manusia.


BERDO'A UNTUK KETEGUHAN HATI


KUNCI sukses ada di dalam hati. Sukses di dunia dan di akhirat. Hati adalah sumber akhlaq, tingkah laku, cara berpikir, perasaan, dan tentu saja tempat iman dan taqwa.

Dalam meraih sukses, maka langkah pertamanya ialah memperbaiki hati dan teguh dalam kondisi hati yang baik.

Memang tidak mudah menjaga keteguhan hati. Dan, salah satu cara untuk menjaganya ialah dengan memohon kepada Sang Pemilik hati kita.

Bahkan Rasulullah saw pun, selalu berdo’a agar hati beliau tetap teguh. Dalam hadits riwayat Ahmad dan Ibnu Abu Syaibah, Aisya ra., berkata,

10 LANGKAH MENJEMPUT REZEKI

Banyak jalan yang bisa ditempuh untuk menjemput rezeki. Berikut sepuluh diantaranya..

1. TAQWA
    “Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan jalan keluar baginya. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya,” (QS ath-Thalaq: 2-3)

2. TAWAKAL

Nabi صلیﷲ علیﻪ و سلم bersabda:
    “Seandainya kamu bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakal, nescaya kamu diberi rezeki seperti burung diberi rezeki, ia pagi hari lapar dan petang hari telah kenyang.” (Riwayat Ahmad, at-Tirmizi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, al-Hakim dari Umar bin al-Khattab r.a.)

3. SHALAT

Firman Allah dalam hadis qudsi:
    “Wahai anak Adam, jangan sekali-kali engkau malas mengerjakan empat rakaat pada waktu permulaan siang (solat Dhuha), nanti pasti akan Aku cukupkan keperluanmu pada petang harinya.” (Riwayat al-Hakim dan Thabrani)

4. ISTIGHFAR
    “Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai” (QS Nuh: 10-12)

    BERDOA MINTA PERTOLONGAN HENDAKLAH SEPANJANG MASA BUKAN KETIKA BERDEPAN MUSIBAH


    RAMAI yang meminta kepada manusia tetapi tidak mahu meminta kepada Allah سبحانا وتعاﱃ . Mereka juga pandai menjaga hubungan baik dengan manusia tetapi memutuskan hubungannya dengan Allah سبحانا وتعاﱃ .

    Mereka bergantung kepada manusia dan berharap mendapat manfaat daripadanya sehingga melupakan kuasa Allah سبحانا وتعاﱃ yang memberi manfaat dan mudarat. Perbuatan sebegini boleh menyebabkan iman seseorang terjejas. Seolah-olah mereka hilang kepercayaan kepada Allah سبحانا وتعاﱃ , padahal Dialah yang menggenggam ubun-ubun setiap makhluk.

    Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik berjumpa dengan cucunda Umar bin Al-Khattab, seorang warak, zuhud lagi alim bernama Salim bin Abdullah bin Umar al-Khattab. Kedua-duanya berada di Baitullah.

    Khalifah bertanya: “Apakah kamu mempunyai hajat kepadaku, wahai Salim?”

    Salim menjawab: “Wahai Sulaiman tidakkah engkau malu mengatakan itu padahal engkau berada di Baitullah?

    MENGINGATI ALLAH ADALAH LEBIH BESAR KEUTAMAANNYA

    Barang siapa yang berpaling dari mengingat Tuhan Yang Maha Pemurah, Kami kuasakan atasnya setan (yang menyesatkan), lalu setan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya.” (Qs. Az-Zukhruf: 36)
    DARI ayat suci ini jelas dan terang, bahwa untuk tidak terjebak pada penguasaan syaitan maka kita tidak boleh lalai apalagi berpaling dari mengingat Allah سبحانا وتعاﱃ.

    Keutamaan mengingat Allah bukan sekedar agar terhindar dan terlepas dari godaan dan gangguan syaitan, namun lebih dari itu, mengingat Allah adalah ibadah yang lebih besar keutamaannya dibanding ibadah-ibadah yang lain. Allah سبحانا وتعاﱃ berfirman,
      “…dan sesungguhnya mengingat Allah adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain).” (Qs. Al-Ankabut: 45)

    Dikatakan mengingat Allah (dzikrullah) lebih besar keutamaannya karena pada hakikatnya setiap ibadah yang dilakukan (shalat, zakat, puasa, naik haji, jihad, ‘amar ma’ruf nahi munkar dan lain-lain) adalah dalam rangka semata-mata untuk mengingat Allah.