Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
“
Kelazatan mengikuti rasa cinta. Ia akan menguat mengikuti menguatnya cinta dan melemah pula seiring dengan melemahnya cinta. Setiap kali keinginan terhadap al-mahbub (sosok yang dicintai) serta kerinduan kepadanya menguat maka semakin sempurna pula kelazatan yang akan dirasakan tatkala sampai kepada tujuannya tersebut. Sementara rasa cinta dan kerinduan itu sangat tergantung kepada ma’rifah/pengenalan dan ilmu tentang sosok yang dicintai. Setiap kali ilmu yang dimiliki tentangnya bertambah sempurna maka niscaya kecintaan kepadanya pun semakin sempurna.
Apabila kenikmatan yang sempurna di akhirat serta kelazatan yang sempurna berporos (BM: asas) kepada ilmu dan kecintaan, maka itu artinya barangsiapa yang lebih dalam pengenalannya dalam beriman kepada Allah, nama-nama, sifat-sifat-Nya serta -betul-betul meyakini- agama-Nya niscaya kelazatan yang akan dia rasakan tatkala berjumpa, bercengkerama, memandang wajah-Nya dan mendengar ucapan-ucapan-Nya juga semakin sempurna.
Adapun segala kelazatan, kenikmatan, kegembiraan, dan kesenangan -duniawi yang dirasakan oleh manusia - apabila dibandingkan dengan itu semua laksana setetes air di tengah-tengah samudera.
Oleh sebab itu, bagaimana mungkin orang yang berakal lebih mengutamakan kelazatan yang amat sedikit dan sebentar bahkan tercampur dengan berbagai rasa sakit di atas kelazatan yang Maha Agung, terus-menerus dan abadi.
Kesempurnaan seorang hamba sangat tergantung pada dua buah kekuatan ini; kekuatan ilmu dan rasa cinta.
Ilmu yang paling utama adalah ilmu tentang Allah, sedangkan kecintaan yang paling tinggi adalah kecintaan kepada-Nya.
Sementara itu kelezatan yang paling sempurna akan bisa digapai (dicapai) berbanding lurus dengan dua hal ini [ilmu dan cinta], Allahul musta’aan.” (al-Fawa’id, hal. 52) ::::
Dari ucapan beliau ini, kita dapat mengetahui betapa besar peran ilmu tentang Allah dalam membentuk jati diri seorang muslim. Karena seorang Muslim yang ideal adalah yang senantiasa mendahulukan kecintaan kepada Allah dan rasul-Nya di atas segalanya. Sosok (peribadi) Muslim seperti itulah yang dikhabarkan akan bisa mengecap manisnya iman.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Para ulama menafsirkan bahwa yang dimaksud lazatnya iman ini antara lain adalah berupa kenikmatan yang dirasakan ketika menjalani ketaatan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menggambarkan bahwa sosok manusia yang mampu mencapat derajat manisnya iman ini adalah orang yang di dalam HATInya tidak menyimpan perasaan tidak suka dan benci kepada agama yang suci ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Akan bisa merasakan lazatnya iman orang-orang yang ridha kepada Rabbnya, redha Islam sebagai agamanya, dan Muhammad sebagai Rasul.” (HR. Muslim)
Ketiga hal inilah -sebagaimana diungkapkan oleh Syaikh Ibrahim ar-Ruhaili hafizhahullah- merupakan pokok-pokok ajaran agama. Ini artinya, bangunan agama yang ada pada diri seseorang akan menjadi kuat atau lemah tergantung kepada ilmu tentang ketiganya;
- Mengenal agama Islam, dan
- Mengenal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Hal ini menunjukkan kepada kita bagaimana para ulama salaf sedemikian mengenal karakter jiwa dan perangai manusia. Mereka itu - sebagaimana digambarkan oleh Imam Ahmad di dalam mukadimah kitabnya ar-Radd ‘alal Jahmiyah dan dinukil oleh Syaikh Shalih al-Fauzan dalam Kitab Tauhidnya - merupakan sosok ‘pahlawan’ yang telah menghidupkan HATI-HATI manusia yang telah binasa dan terjajah oleh Iblis melalui ayat-ayat Kitabullah yang mereka baca dan mereka terangkan isinya kepada umat manusia. Sehingga HATI manusia yang sebelumnya gersang, tandus dan kering kerontang pun tersirami dengan tetes demi tetes bimbingan wahyu Ilahi sehingga memunculkan tanda-tanda kehidupan kembali …
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel
www.muslim.or.id
Dipetik Dari:
http://muslim.or.id/tazkiyatun-nufus/laksana-setetes-air-di-tengah-samudera.html
Shared By Bicara Hidayah