Saturday, January 1, 2011

AMAT SEDIKIT YANG BERSYUKUR

Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,
    "Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dari segala apa yang kamu mohonkan kepada-Nya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah kamu dapat menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah)." (Ibrahim, 14:34)

KARUNIA atau nikmat yang dianugerahkan oleh Allah subhanahu wata’ala kepada setiap manusia sungguh sangat banyak dan amat besar, siapa pun dia, bagaimana pun kondisinya dan apa pun status sosialnya. Bahkan, musibah yang menimpa seorang mukmin yang ia terima dengan penuh lapang dada, seraya menucapkan "inâ lillâh wainnâ ilaihi râji`ûn" (sesungguhnya kami ini adalah milik Allah subhanahu wata’ala dan sesungguhnya kepada-Nya lah kami kembali) itu pun menjadi karunia dan nikmat tersendiri baginya, sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam haditsnya,
    "Sungguhnya keadaan seorang mukmin itu sangat menakjubkan, karena semua keadaannya menjadi kebaikan bagi dirinya: jika mendapat nikmat ia bersyukur, maka itu mejadi kebaikan baginya, dan jika ditimpa musibah ia bersabar, maka itu menjadi kebaikan baginya." (HR. Muslim)
Oleh karena sangat banyaknya karunia dan kenikmatan yang Allah anugerahkan kepada semua manusia yang kadang lalai, tidak tahu diri dan tidak mengenal kebaikan dan karunia Allah kepadanya, karena itu semua, Allah subhanahu wata’ala menyapa manusia ini dengan firman-Nya di dalam Surah Ibrahim, 14:34, seperti yang disebut awalnya di atas.

Allah subhanahu wata’ala menyapa manusia agar mereka bersyukur kepada-Nya dan memanfaatkan semua karunia dan nikmat itu pada jalan yang diridhai-Nya, juga agar manusia tidak menjadi orang yang zalim dan kufur nikmat dan tahu betapa banyaknya karunia dan nikmat Allah yang telah Dia anugerahkan kepadanya,
    "Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah)."
Manusia biasanya tidak sadar kalau karunia dan kenikmatan yang telah Allah subhanahu wata’ala berikan kepadanya tidak terhitung jumlahnya bahkan belum pernah ia syukuri, dan sekali pun ia telah mensyukurinya pasti syukurnya tidak akan dapat menandingi kenikmatan itu.
    "Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia berkata, "Tuhanku telah memuliakanku". Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezkinya maka dia berkata, "Tuhanku menghinakanku." (Al Fajr, 89:15-16)

AMAT SEDIKIT YANG BERSYUKUR

Tidakkah Allah telah memberinya mata (penglihatan) yang nilainya tidak dapat dibandingkan dengan kekayaan matriel, lalu sepadankah kesyukurannya dengan nikmat penglihatan (mata) ini?! Tidakkah Allah telah menganugerahkan kepadanya akal yang dengannya ia dapat melakukan banyak hal? Relakah akalnya ditukar dengan uang sebanyak kebutuhannya?! Lalu bagaimana dengan nikmat sehat, nikmat bisa bernafas, nikmat oksigen, nikmat Islam, nikmat iman, nikmat dapat beribadah dengan baik dan khusyu', nikmat ilmu dan lain-lainnya? Allah subhanahu wata’ala berfirman,
    "Katakanlah, "Dia-lah yang mencipta kan kamu dan menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati (akal)". Tetapi amat sedikit kamu bersyukur.” (QS. 67:23)
Sungguh alangkah malangnya manusia yang tidak merasakan betapa banyak dan betapa sangat besarnya karunia dan nikmat Allah subhanahu wata’ala kepada dirinya, atau hanya bisa merasakan karunia dan nikmat-Nya pada makanan dan minumannya saja, lalu ia merasa telah bersyukur kepada Allah subhanahu wata’ala, karena bisa mengucapkan Alhamdulillâh sesudahnya.


Seorang shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bernama Abû Dardâ ra pernah mengatakan,
    "Barang siapa yang tidak melihat (merasakan) nikmat yang Allah berikan kepadanya kecuali hanya pada makanan dan minumannya, maka sesungguhnya ilmu (ma`rifat)nya sangat dangkal dan azab pun telah menantinya". (Abu Hayyân al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth fî al-Tafsîr, jilid 6, hal. 441. Maktabah Tijâriyyah Musthafa al-Bâz)
Karunia dan nikmat Allah yang telah diberikan kepada kita (manusia) sungguh tidak dapat kita hitung jumlahnya dan sebanyak apapun kesyukuran manusia kepada Allah atas karunia-Nya tetap tidak akan sebanding, bahkan bisa bersyukur itu sendiri merupakan karunia dan nikmat. Oleh karena itu, hendaknya manusia, apapun kedudukannya di dunia harus selalu bersyukur dan berterima kasih kepada Allah subhanahu wata’ala sang Pemberi nikmat.

Dalam soal jawab Iblis dengan Allah, Iblis berkata,
    "Kemudian aku datang (memperdayakan) mereka dari muka, belakang, kanan dan kiri mereka. Dan tidaklah Engkau (Tuhan) akan mendapati kebanyakan daripada mereka tahu berterima kasih." (QS. al-A'raaf: 17).
Seterusnya Allah berfirman yang bermaksud:
    "Sesungguhnya Allah sentiasa melimpahkan kurnia-Nya kepada manusia (seluruhnya), tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur." (QS. al-Baqarah: 243)
Justru, kita perlu menaruh perasaan bimbang dengan penjelasan Allah seperti dalam beberapa ayat berkenaan, iaitu apakah kita daripada kalangan orang yang bersyukur. Semoga kisah berikut memberi pengajaran atau iktibar kepada kita.


Diceritakan bahawa ada seorang pemuda pada zaman Saidina Umar al-Khattab yang sering berdoa di sisi Baitullah yang maksudnya:
    "Ya Allah! masukkanlah aku dalam golongan yang sedikit."
Doa pemuda ini didengar oleh Saidina Umar ketika beliau (Umar) sedang bertawaf di Kaabah. Umar berasa hairan, iaitu kenapa pemuda berkenaan memohon doa sedemikian rupa.

Selepas selesai melakukan tawaf, Saidina Umar memanggil pemuda berkenaan lalu bertanya:
    "Kenapakah engkau berdoa sedemikian rupa (Ya Allah! masukkanlah aku dalam golongan yang sedikit), apakah tiada permintaan lain yang boleh engkau mohon kepada Allah?"
Pemuda berkenaan menjawab:
    "Ya Amirul Mukminin! Aku membaca doa berkenaan kerana aku (berasa) takut dengan penjelasan Allah seperti firman-Nya dalam surah al-A'raaf ayat 10 yang bermaksud: "Sesungguhnya Kami (Allah) telah menempatkan kamu sekelian di muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi (sumber/jalan) penghidupan. (Tetapi) amat sedikitlah kamu bersyukur." Aku memohon agar Allah memasukkan aku dalam golongan yang sedikit, iaitu (lantaran) terlalu sedikit orang yang tahu bersyukur kepada Allah, jelas pemuda berkenaan."
Mendengar jawapan itu, Umar al-Khattab menepuk kepalanya sambil berkata kepada dirinya sendiri:
    "Wahai Umar, alangkah jahilnya engkau, orang ramai lebih alim daripadamu."

Memanglah teramat sedikit yang tahu dan mahu bersyukur dan semoga kita termasuk dalam golongan yang sedikit berkenaan (yang bersyukur).


HAKIKAT SYUKUR

Ibnu Qayyim (seorang tokoh ulama terkemuka) menjelaskan bahwa hakikat syukur kepada Allah itu adalah tampaknya bekas nikmat Allah pada lisan sang hamba dalam bentuk pujian dan pengakuan, di dalam hatinya dalam bentuk kesaksian dan rasa cinta, dan pada anggota tubuhnya dalam bentuk patuh dan taat. (Ibn Qayyim al-Jauziyah, Tahdzîb Madârij al-sâlikîn oleh Abdul Mun`im al`Izzî, hal. 348)
Dan beliau lebih lanjut menjelaskan bahwa syukur itu mempunyai 5 (lima) pilar pokok yang apa bila salah satunya tidak terpenuhi maka syukur menjadi batal dan dianggap belum bersyukur. 5 (lima) pilar pokok itu adalah:
  • Kepatuhan orang yang bersyukur kepada Pemberi nikmat,
  • Mencintai-Nya,
  • Mengakui nikmat dari-Nya,
  • Memuji-Nya atas nikmat-Nya, dan
  • Tidak menggunakan nikmat yang diberikan-Nya untuk sesuatu yang tidak Dia suka. (maraji' sebelumnya)

Bagaimanakah memastikan diri kita adalah daripada kalangan orang yang bersyukur dengan segala nikmat yang diterima daripada Allah?

Menurut Imam al-Junaid,
     "Syukur ialah seseorang yang tidak menggunakan nikmat Allah untuk melakukan maksiat kepada-Nya."
Ertinya, tanda bersyukur ialah menggunakan segala nikmat atau rezeki kurniaan Allah untuk melakukan ketaatan kepada-Nya dan memanfaatkannya ke arah kebajikan - bukan menyalurkannya ke kancah maksiat atau kejahatan.

Ulama bernama Ahsin bin Atha'ullah pula membahagikan syukur kepada tiga, iaitu:

(1)   Syukur dengan lidah, iaitu dengan cara menyebut nikmat kurniaan Allah seperti firman Allah:
    "Dan nikmat Tuhanmu hendaklah engkau menyebutkannya sebagai menzahirkan kesyukuran." (QS. adh-Dhuha: 11);
(2)   Syukur dengan anggota badan, iaitu dengan melaksanakan ketaatan kepada Allah, iaitu dengan menggunakan anggota badan ke atas perkara yang diredhai Allah; dan

(3)   Syukur dengan hati, iaitu mengiktiraf bahawa Allah sajalah pemberi segala nikmat di mana segala nikmat atau rezeki yang diperoleh oleh setiap manusia (hamba Allah) datangnya daripada Allah, sesuai dengan penjelasan Allah menerusi firman-Nya bermaksud:
    "Apa jua nikmat yang kamu peroleh, maka ia datangnya daripada Allah." (QS. an-Nahl: 53)
Ibnu Atha'ullah Askandari pula berkata:
    "Sesiapa yang tidak mensyukuri nikmat, maka dia membuka ruang seluas-luasnya untuk nikmat berkenaan hilang daripadanya. Sedangkan sesiapa bersyukur, maka (bermakna) dia mengukuhkan lagi ikatan kekalnya nikmat berkenaan kepada dirinya. Dan sesiapa yang tidak mempedulikan nikmat Allah yang diperolehinya, maka dia akan menghargainya apabila nikmat itu (telah) hilang daripadanya."
Ketika Siti Aisyah bertanya Rasulullah SAW (suaminya), mengapa baginda begitu kuat dan tekun beribadah (solat) sampai kakinya bengkak, sedangkan baginda seorang nabi yang telah diampun dosanya dahulu dan akan datang? Nabi Muhammad menjawab,
    "Tidak bolehkah aku menjadi orang yang bersyukur kepada Allah."

Ini bermakna mentaati perintah dan menjauhi apa jua larangan Allah adalah tanda syukur kepada-Nya. Insaflah bahawa apa jua yang Allah suruh kerjakan dan tinggalkan segala larangan-Nya adalah semata-mata untuk keuntungan manusia sendiri.

Allah tidak mengambil sebarang faedah daripada apa jua yang diperintah dan dilarang-Nya. Allah tidak sekali-kali rugi jika semua manusia sepakat untuk tidak mentaati-Nya dan tidak pula untung sekelumit pun sekiranya semua manusia beriman dan patuh kepada-Nya. Bukankah Allah mewujudkan manusia di muka bumi ini untuk diuji. Allah hendak melihat siapakah antara mereka yang paling baik perbuatannya?

Ini selaras dengan penegasan Allah menerusi firman-Nya yang bermaksud:
    "Sesungguhnya Kami (Allah) menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya agar Kami menguji mereka siapakah antara mereka yang terbaik perbuatannya."(QS. al-Kahfi:7)
Walhasil, ucapan alhamdulillah saja belum bisa dianggap telah mencerminkan kesyukuran, sebelum adanya pengakuan lisan, sikap tunduk dan taat, rasa cinta serta memanfaatkan kenikmatan dalam rangka ibadah kepada Allah subhanahu wata’ala.

Jika, demikian hakikat syukur, maka jangan kita hairan kalau Allah subhanahu wata’ala berfirman, "Dan sangat sedikit sekali hamba-hamba-Ku yang bersyukur" (Saba, 34: 13),"Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah)." (Ibrahim, 14: 34), karena memang seperti itu keadaannya.




SELALULAH BERSYUKUR

Sekalipun begitu, Allah subhanahu wata’ala tidak ingin kalau hamba-hamba-Nya tidak bersyukur, karena akan berakibat buruk bagi mereka di dunia maupun di akhirat. Maka Dia perintahkan kepada mereka melalui ayat-ayatnya agar selalu bersyukur, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun mengajarkan kepada ummatnya apa yang harus mereka lakukan dalam rangka bersyukur kepada Allah subhanahu wata’ala, di antaranya melalui do`a setiap selepas sholat, artinya,
    "Ya Allah, tolonglah aku untuk berdzikir kepada-Mu, bersyukur kepada-Mu dan beribadah dengan baik kepada-Mu". (HR. Abu Daud:1522 dan Nasa'i: 1302)
Dan dzikir pagi dan petang, artinya,
    "Ya Allah, kenikmatan apapun yang ada padaku atau pada seseorang di antara makhluk-Mu (di pagi hari ini, di sore hari ini), maka dari-Mu semata, tiada sekutu bagi-Mu. Maka untuk-Mu lah segala puji, dan untuk-Mu jualah segala rasa syukur" (HR. Abu Daud: 5073, Nasa'i: 7) 


:::: 21 Muharram 1432 ::::
Semua Gambar Adalah Hiasa

___________________________________
Sumber: Beberapa Laman Web

Shared By Bicara Hidayah